Wednesday, August 8, 2012

NUH

Dikutip dari kultwit @kupinang

Apa yang salah pada Nabi Nuh ‘alaihissalam? Ia seorang nabi sekaligus utusan Allah ‘Azza wa Jalla. Imannya jangan ditanya, sudah tentu sangat terjaga. Tidak mungkin ada nabi yang imannya meragukan. Hidupnya selalu dalam petunjuk karena Allah Ta’ala sendiri yang membimbingnya. Akhlaknya? Pasti mulia.

Bagaimana mungkin seseorang menjadi nabi dan menebar dakwah kemana-mana jika ia tidak memiliki akhlak yang luar biasa baiknya? Seorang nabi sudah jelas amat kuat penjagaannya dari hal-hal yang meragukan (syubhat). Apalagi dari yang haram. Tetapi apakah semua kemuliaan itu menjadikan anaknya berada dalam barisan orang-orang yang beriman? Tidak. Justru sebaliknya, putra nabi Nuh menjadi pendurhaka. Hingga detik-detik terakhir hidupnya, ia masih diseru oleh ayahnya (nabi Nuh ‘alaihissalam) untuk masuk dalam barisan orang beriman. Tetapi ia menolak.

Marilah kita kenang percakapan Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan putranya sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an: “Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yg jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami & janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."

Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!"

Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang".

Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yg ditenggelamkan.” QS. 11: 42-43.

Apa yang bisa kita renungkan dari ayat tersebut? Banyak hal. Salah satunya adalah pelajaran berharga betapa kita tidak kuasa untuk menggenggam jiwa anak-anak kita sendiri. Betapa pun amat besar keinginan kita untuk menjadikan anak-anak kita termasuk golongan orang beriman, tetapi kita tidak punya kekuatan untuk menggerakkan jiwa mereka. Kita hanya bisa mempengaruhi mereka, mendorong mereka dan menyeru mereka kepada kebaikan. Kita hanya dapat bermunajat kepada Allah Ta’ala yang jiwa mereka dalam genggaman-Nya.

Dari ayat ini kita juga belajar tentang tulusnya cinta seorang ayah kepada anak. Betapa pun anaknya telah melakukan kedurhakaan yg nyata, seorang ayah tetap masih memiliki tabungan harapan yang sangat besar agar anaknya kembali kepada jalan takwa. Betapa pun tampaknya sudah hampir tak mungkin, seorang ayah masih akan berusaha memanfaatkan detik-detik terakhir kesempatan untuk mengingatkan, menasehati dan menyelamatkan anaknya. Meskipun telah jelas kekufuran melekat kuat pada anaknya, masih ada harapan yang besar agar ia kembali ke jalan Allah. Masih ada do’a-do’a yang terucap untuk memohon pertolongan-Nya.
Ada yang perlu kita renungkan. Ada yang perlu kita telusuri untuk menemukan jawaban. InsyaAllah kita lanjutkan perbincangan pada bagian kedua seraya mengharap taufik, hidayah dan inayah Allah Ta’ala.

###################

Apa yang salah pada Nabi Luth ‘alaihissalam? Ia seorang nabi. Setiap langkahnya memperoleh bimbingan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Tutur katanya penuh dengan hikmah. Tidaklah berucap kecuali yang bermanfaat. Tidak pula bertindak kecuali kebaikan. Tentang imannya jangan ditanya. Seorang nabi tentu saja paling kuat imannya, paling baik ibadahnya & paling ketat dlm menjaga diri. Andaikata seribu orang paling shalih di zaman kita ini menghabiskan umurnya untuk berdo’a dan beribadah, niscaya tak ada yang sanggup mengalahkan keimanan dan kekhusyukan nabi Luth. Lalu apa sebabnya iman tercerabut dari rumah utusan Allah ‘alaihimas salaam ini? Istri yg tidak memiliki kendali iman dalam dirinya.

Allah Ta’ala jadikan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimas salaam sebagai contoh bahwa iman tak bisa ditegakkan, anak-anak tak bisa diharapkan, kebaikan tak bisa hadir di rumah kita jika istri rapuh imannya dan lemah pendiriannya. Segigih apa pun kita mendidik anak, awalnya harus menyiapkan istri kita untuk mampu menjadi ibu yang belaian tangannya dipenuhi pngharapan terhadap pahala dari Allah Ta’ala; yang tutur katanya dipenuhi keinginan untuk menjadikan anak-anak mencintai dien; yang do’anya menembus kegelapan malam demi mengharap pertolongan Allah Ta’ala agar hati anak-anaknya diterangi oleh iman yg kuat.

Karenanya, kunci pertama melahirkan anak-anak shalih adalah menyiapkan calon ibu bagi anak-anak kita. Kunci untuk mencetak generasi yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan mencintai istri kita sepenuh hati. Sebab dialah yang akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anak kita. Bukan sekedar sebagai ibu kandung yang melahirkan dan sesudah itu orang lain yang mengurus anak-anaknya.

Sesungguhnya, setiap anak kita memerlukan tiga ibu. Setiap bapak harus menjamin bahwa anak-anaknya memiliki tiga ibu, yakni ibu kandung, ibu susu yg beri makan bayinya dengan air susunya sendiri (bukan susu sapi) & ibu asuh yang menjadi madrasah pertama bagi anak kita. Seyogyanya tiga fungsi ibu ini berada dalam satu pribadi, yakni istri yang melahirkan anak-anak kita. Tetapi sekiranya tidak bisa, masih ada jalan yang Allah Ta’ala berikan, yakni mengangkat ibu susuan dengan segala kehormatannya. Adapun pengasuhan, ada berbagai kewajiban yang harus kita tunaikan.

‘Alaa kulli haal, mari kita renungkan kembali bahwa berpayah-payah dalam berdakwah tidak cukup untuk mengantarkan anak-anak kita agar memiliki iman yang kuat dan ‘aqidah yang lurus. Khusyuknya do’a kita tidak cukup untuk menjadikan anak kita ahli ‘ibadah.

Penuhnya luka di sekujur badan karena memperjuangkan agama Allah ‘Azza wa Jalla, yakni al-Islam ini, tidak cukup untuk melahirkan generasi mujahid yang siap mengorbankan hidup dan hartanya untuk menolong agama Allah. Begitu pula banyaknya ilmu yang kita dapat melalui usaha sungguh-sungguh, tidak cukup untuk membawa anak kita dekat dengan agama. Apalagi jika bekal kita sekedar power point. Bukan ilmu yang kejar dengan penuh kesungguhan.

###################

N.B : Untuk perenungan para suami dan ayah.

No comments:

Post a Comment