Tuesday, April 3, 2007

TRIANGLE

“Hontou?”

“Iya. Masa kamu nggak percaya sama aku, sih?”

“Percaya sih. Tapi, masa iya, dia begitu?”

Ah, dua gadis itu sepertinya tidak juga berhenti ngerumpi. Aku bahkan tidak mengerti apa yang bisa membuat mereka betah berlama-lama seperti itu.

“Hey! Ngapain bengong aja? Kesambet baru tahu rasa lo.”

“Aah, ngagetin orang aja.” Melihat aku kaget, dua gadis itu pun tertawa. Tampaknya mereka tahu kalau aku memperhatikan mereka, tapi mereka cuek.

Sambil melihat dua gadis itu, VJ bilang, “Ooh, lagi liatin mereka toh. Pantas dari tadi kulihat kok kayak patung taman. Mau kenalan? Kukenalkan ya?”

“Sok tahu kamu. Tahu darimana aku ingin? Udah ah. Yuk, jalan.”

Dua hari kemudian aku bertemu dengan gadis berambut panjang tempo hari di tempat aku biasa nongkrong. Dan ia mengenaliku. Ia hanya tersenyum membalas ketika berpapasan denganku. Hingga kemudian kami selalu bertemu di tempat yang sama.

Aku penasaran. Akhirnya kutanyakan pada VJ nama gadis itu. VJ hanya tertawa, ia sudah tahu aku akan menanyakannya.

“Kenapa nggak kemarin aja waktu kita janjian? Malu?”

“Iya, lah. Masa tiba-tiba datang terus bilang ‘Hai, kita kenalan yuk?’, ‘kan nggak lucu.”

“Lha, yang namanya mau kenalan ya seperti itu.”

“Ya udahlah, mau kasih tahu nggak, nih?”

“Iya-iya. Memangnya mau tahu yang mana sih? Yang rambut panjang atau yang pendek?”

“Emang kamu kenal dua-duanya?”

“Iya.”

“Kenapa nggak bilang dari kemarin! Kamu tuh, jadi teman mbok ya tahu keadaan. Yang
panjang.”

“Eh, aku ‘kan udah bilang kemarin. Kamunya aja yang nggak nanggepin. Salah siapa coba? Hiroyuki Satoshi, yang pendek, Lee Jyung-il. Heh, kamu suka Yuki ya?”

“Sok tahu. Tahu dari mana?”

“Orangnya sendiri yang bilang. Dia bilang, kamu perhatiin dia terus. Aku bilang ke dia kalau kamu suka dia.”

“Terus dia bilang apa?”

“Dia cuma ketawa.”

Ah, Yuki. Keturunan Jepang-Indonesia, lahir di Osaka, Jepang. Ia besar di Indonesia. Ayahnya, yang asli Surabaya, seorang insinyur elektronika lulusan universitas di Jepang. Sedang ibunya orang Jepang asli. Mereka menikah di Jepang kemudian pindah ke Jakarta setelah Yuki lahir. Karena itu ia fasih Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang.

Jyung-il. Asli Korea besar di Jepang. Sekarang ia sedang belajar Bahasa Indonesia agar bisa kuliah disini. Aku heran, apanya yang menarik disini hingga ia mau kuliah disini? VJ bilang sih, ia ingin suasana yang lain. Gadis cantik itu juga bilang ingin mengambil jurusan Biologi. Selain itu, ia juga tertarik dengan Indonesia. Katanya, Indonesia itu indah. Sayangnya nggak semua orang sadar kalau Indonesia itu indah. Entah apa maksudnya. Aku jadi terkesan dengan gadis ini. Hanya itu saja yang kutahu. Dan semuanya aku ketahui dari VJ. Huh, ternyata VJ sudah lama kenal dengan mereka. Teman perempuanku itu, ya....

Ada satu hal yang mungkin bisa menyatukan mereka berdua, juga VJ; kultur budaya Jepang yang mereka punyai. VJ sendiri, kakak ipar dan pamannya adalah orang Jepang tulen. Aku? Cuma penggemar film animasi buatan Jepang.

Kampus, jam satu siang. Aku berjalan menyusuri jalanan kampus. Siang ini aku harus segera menyelesaikan makalah yang harus dikumpulkan lusa. Sebenarnya aku ingin meminjam komputer VJ, tapi entah kenapa dia tidak kulihat sejak pagi.

Tiba-tiba kudengar dari belakang sebuah mobil datang dan....

CIIITT!!!

“Aduh!” aku terjatuh.

Seorang perempuan keluar dan menghampiriku, “Aduh, maaf, saya tidak sengaja. Saya mohon maaf,” katanya terbata sambil membungkukkan badan.

“Kalau belajar nyetir jangan disini dong. Kenapa nggak cari tempat yang lebih aman?” kataku spontan. Tetapi begitu aku melihat perempuan itu aku tertegun. Eh, sepertinya aku kenal perempuan ini. “Hey, kamu Jyung-il ya? AnnyĆ³ng hasshimnikka?”

“Iya. Apa saya kenal Anda?”

“Saya temannya VJ, Dhani. Masak udah lupa?”

“Temannya VJ? Sebentar ya.” Ia segera ke mobil, sepertinya memanggil seseorang.
VJ?! Eerrrgghh, tidak sopan. Ternyata ia ngumpet di dalam mobil.

“Ayo. Pokoknya kamu juga harus ikut bertanggung jawab. Kamu ‘kan temannya. Ayo minta maaf. Mari, saya obati.” kata Yuki yang ternyata juga ikut bersama mereka.

Setelah selesai mengobati lengan dan selesai mengomeli VJ, kami berempat pergi ke mall. Mereka bilang mau mengganti bajuku yang robek. Nggak jadi ngerjain makalah deh.

Dua minggu setelah kejadian itu VJ datang ke rumahku. Aku masih sebal dengan ulahnya yang menabrakku dari belakang.

“Dhan, jangan marah ya sama kejadian tempo hari itu. Aku bener-bener minta maaf. Aku akan lakukan apa aja deh, asal kamu maafin aku.” kata VJ memelas.

“Bener nih? Hati-hati sama omongan sendiri loh.”

“Bener, suer.”

“Nggak usah pakai sumpah segala, deh. Oke, aku percaya. Tapi masa kamu nggak punya perasaan gitu sih. Aku ditabrak dari belakang.”

“Maaf, aku nggak sengaja. Yuki minta supaya mobilnya di deketin ke kamu. Biar dia bisa lihat kamu dari dekat, ‘kan dia penasaran. Nggak tahunya Jyung-il panik lihat kucing lewat.”

“He? Masa seperti itu sih? Kucing? Nggak percaya.” Kataku dengan nada tidak percaya.

“Yaa. Kok gitu sih? Aku ganti ya?”

“Apa?” tanyaku menyelidik.

“Ini,” katanya sambil menyodorkan tiket perjalanan. Ke Jepang dan Korea selama seminggu!

“Apa nih? Sogokan ya? Nggak mau!” kataku jual mahal. Huh, enak saja. Lenganku masih sakit, tahu!

“Yuki sama Jyung-il ikut loh. Yakin ditolak?” katanya sambil melirik. “Jalan-jalan gratis, nginep di rumahnya Yuki yang ade’nya cantik-cantik. Terus nginep di rumahnya Jyung-il yang di pedesaan. Ada kudanya loh. Kamu ‘kan suka kuda. Bener nih ditolak? Ya sudah, kukembalikan saja. Hmm, pasti mereka kecewa berat nih. Padahal, ini ‘kan mereka yang minta.” katanya lagi dengan nada usil.

“Ah, masa’?” kataku sambil berbinar. Yang benar ini dari mereka?

“Nggak percaya? Yukiii!”

“Heh, jangan teriak-teriak. Lagi juga, emang orangnya ada, apa?”

Tiba-tiba saja Yuki keluar dari mobil VJ dan berjalan ke arah kami. Waah, cantiknya....

“Please, ikut ya? Onegai ne?” kata Yuki memelas dengan menempelkan kedua tangannya seperti orang Sunda. “Ini untuk membayar kejadian kemarin.”

“Waduh, gimana ya?” aku bingung, dan menggaruk kepalaku yang nggak gatal.

“Udah, nggak usah jual mahal. Ikut aja, mumpung gratis. Kita bertiga yang nanggung.”

“Bukan begitu. Masalahnya, aku belum punya paspor.”

“Ini maksudnya?” kata VJ sambil menunjukkan paspor atas namaku. “Beres ‘kan? Apa lagi?”
Apa?! Sial, dia sudah mempersiapkannya. Aku harus cari alasan lain nih. “Nyokap,” kataku asal.

“Ibu nggak apa-apa kok. Kalau kamu mau pergi, pergi saja.” kata ibuku yang keluar sambil membawa minuman.

Aduh, Ibu, gagal deh. Aku melirik VJ. Aku kehabisan akal. Apa-apaan ini, aku jadi nggak bisa mengelak untuk nggak pergi.

“Jadi, kamu nggak punya alasan untuk nggak ikut. Pokoknya kamu harus ikut. Titik. Hehe....”
Huuuh....

Tanpa terasa, tahu-tahu aku sudah berada di pesawat. Aduh, gimana ini, aku kan nggak bisa bahasa Jepang. Dan lagi, aku nggak punya persiapan untuk pergi. Jujur saja, ini pertama kalinya aku ke luar negeri. Bahasa asing yang kukuasai hanya bahasa inggris dan itu pun nya’nyo’-nya’nyo. Tahu lah, aku paling malas kalau disuruh belajar bahasa inggris. Ah, bagaimana nanti saja. Nikmati saja perjalanannya.

Selama tiga hari kami berada di rumah nenek Yuki. Aku dikenalkan kepada seluruh anggota keluarga. Hiks, aku nggak ngerti apa yang mereka omongin. Aku hanya plonga-plongo aja waktu mereka bicara. Sewaktu VJ tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Entah, untuk apa. Pokoknya ikuti saja. Untungnya, mereka semua bisa bahasa inggris. Jadinya aku nggak bener-bener jadi bego. Sebelnya, setelah perkenalan, VJ dan Jyung-il menghilang. Kemana sih mereka? Maksudnya apa coba, baru setengah hari disini sudah menghilang. Nggak bilang lagi mau pergi kemana. It’s not fun, tahu!

Yuki benar-benar jadi tuan rumah yang baik. Ia mengajakku pergi ke Tokyo. Menunjukkan kawasan Ginza, kemudian pergi ke Hiroshima melihat monumen perang. Kami hanya pergi berdua. Aku bingung kemana perginya dua orang itu. Sebal! Kan nggak seru. Nggak bisa foto-foto. Masa’ liburan berempat, fotonya cuma berdua. Dua orang lagi? Entah.

Malam terakhir di rumah Yuki, kami berpamitan. Keluarganya benar-benar hangat. Aku baru sadar, dua orang itu baru nongol. Ketika kutanyakan kemana saja, mereka malah balik nanya, ngapain aja kami berduaan, nggak ngajak-ngajak.

Hari keempat kami sudah berada di rumah Jyung-il. Ia tinggal di pinggiran kota Seoul. Rumahnya persis seperti apa yang diceritakan oleh VJ. Begitu tiba, aku langsung tidur. Capek. Penerbangan Osaka – Seoul sekitar empat jam ditambah perjalanan dengan mobil selama dua jam.

Aku sempat menunggang kuda milik Jyung-il. Berkeliling peternakannya yang luas. Kudanya cantik. Berbeda dengan kuda yang biasa kuurus di ranch milik ayah VJ. Hanya satu yang membuat aku sebal. VJ nggak ada. Nggak ada teman buat di kata-katai. VJ kan nggak bisa naik kuda. Naik sepeda aja masih sering jatuh.

Selama di rumah Jyung-il semuanya pakai bahasa inggris, jadi aku nggak kebingungan mereka lagi ngomong apa. Hanya ketika saat-saat tertentu saja mereka nggak pakai bahasa inggris. Kupikir mereka cukup terbuka juga. Pun begitu, aku hanya bisa sedikit mengerti dari bahasa tubuh mereka.

Selama kami di rumah Jyung-il, kami hanya berputar-putar di peternakannya. Senang, tapi juga sedikit bosan. Nggak kemana-mana.

Tepat tiga hari di rumah Jyung-il kami semua pamit pulang. Akhirnya, Indonesia, aku datang....


Tiga hari sesudah perjalanan itu aku menelpon VJ. Janjian. Bosan, akhir pekan cuma di rumah, walaupun pada kenyataannya aku selalu sendirian di akhir pekan. Aku pengen jalan-jalan, tapi nggak ada teman. Sudah kebiasaan kalau aku bosan selalu mengajak VJ jalan. Walau cuma jalan-jalan nggak keruan, tapi yang penting nggak bosan.

Ada satu hal yang orang sering salah sangka tentang aku dan VJ. Mereka selalu menganggap kami berdua pacaran. Padahal, VJ temanku sejak SMP. Kami bersahabat baik. Sangat baik bahkan. Semua kartunya aku pegang, begitu juga dia. Aku tahu dia putus sambung dengan semua pacarnya. Dan dia tahu aku sering banget ditolak cewek. Dia selalu bilang: ‘kaciaan deh lo, bertepuk sebelah tangan’.

Mal, tempat janjian. Lho, kok ada Yuki?

“Hai. Lagi main ya?” sapaku.

“Nggak. Lagi nunggu orang. Nyariin VJ, ya? Katanya nanti nyusul.”

“Kok tahu?”

“Barusan aja dia nelpon. Katanya bakal telat sejam.”

“Sejam? Lama amat! Yuki lagi nunggu siapa? Cowok, ya?”

“Iya.” ia mengangguk.

“Wah, asyik dong berduaan?”

Ia hanya tersenyum. Aduuh, senyumnya itu lho, nggak nahan deh. Bikin patah hati.

“Nunggunya udah lama, yah?” tanyaku.

“Iya nih. Kayaknya dia nggak dateng deh. Dhan, jalan aja yuk?”

“Lha, cowokmu nanti gimana? Ntar kalo dia dateng gimana?”

“Udah, biarin aja. Jalan yuk. VJ kan masih lama.”

Ya sudah, ayuk deh. Aku berjalan mengiringi Yuki. Haha, asyik juga jalan-jalan sama orang cantik. Jadi perhatian. Tiba-tiba saja ia menggamit tanganku. Aku kaget sekaligus gugup. Yuki, berani sekali.

“Engh, Yuki, ntar kalau ketahuan sama cowok lo kan gawat?” kataku sambil mencoba melepaskan tanganku.

“Nggak bakal. Tenang aja. Paling juga ntar ada yang cemburu sama kamu. Percaya deh.”

Cemburu? Sama aku? Cowok yang selalu ditolak? Kayaknya nggak mungkin deh. Aku semakin nggak nyaman karena aku sempat dengar seorang cowok bilang ‘beruntung banget tuh cowok ya’. Gimana kalau cowoknya Yuki tiba-tiba saja datang? Aku bisa dapat bogemnya. Masuk klinik deh.

Yuki menarikku ke loket bioskop. Ia lalu menunjuk salah satu film yang akan diputar. “Beliin tiketnya, yah. Kita nonton yang itu.”

Aku hanya bisa bengong, tapi tetap saja tanpa sadar kubelikan tiket nonton. Bodohnya, aku hanya membeli satu.

“Kok beli cuma satu? Mau nonton sendirian?! Beli lagi!” katanya sambil cemberut. Dan sekali lagi aku hanya menurut. Kali ini, “Kok nggak sebelahan? Tukar! Emangnya kamu mau nonton sendirian?”

Aduuh malunya. Aku jadi perhatian banyak orang. Sampai nggak sempat menikmati pertunjukan filmnya karena sibuk melayani Yuki. Hiroyuki Satoshi, apa sih maumu?
Selesai nonton film, ia menarikku. “Lapar nih, makan yuk.” Kami mengelilingi mal hingga kakiku pegal.

“Aduuh, Dhan. Kamu lambat amat sih. Kayak kura-kura.”

“Yuki, kita mau makan dimana sih?”

“Nggak tahu nih. Kayaknya nggak ada yang enak. Kita keluar aja ya. Ah, aku tahu tempat yang enak.” Tahu tempatnya? Restoran Jepang tempat para eksekutif. Mak, mati aku. Bagaimana membayarnya?

“Tenang, nanti Yuki yang bayar,” katanya seperti mengetahui apa yang ada dalam pikiranku.
Mendengar itu, betapa leganya hatiku. Tapi itu hanya sebentar. Karena sesudah makan, Yuki nggak sadar kalau terlalu banyak minum sake. Ia mabuk berat. Aku sampai harus menggendongnya dan mengantarnya sampai rumah karena ia tidak bisa berdiri. Dan parahnya, ia muntah di bajuku. Ya Tuhan, help me please....

Esok harinya aku ketemu VJ.

“Kemana aja sih kamu kemarin?” todongku.

“Aduh sorry ya. Aku nggak bisa datang. Tiba-tiba aja perutku sakit. Gimana kemarin kencannya sama Yuki? Asyik nggak?”

“Oh, jadi kemarin yang ngatur itu kamu? Tahu nggak sih, kemarin tuh aku ketakutan kalau-kalau cowoknya Yuki datang. Kan bisa berantem. Mau, aku masuk klinik gara-gara dipukuli orang?”

“Maaf. Eh, terus, kemarin kalian ngapain aja?”

“Jalan-jalan, terus nonton, habis itu makan.”

“Hmm, bagus ya, nonton sama makan berduaan. Makan di mana?”

“KHO Tavern.”

“Apa?! Disana? Curang! Kamu nggak pernah ngajak aku kesana.”

“Heh, Yuki yang ngajakin kesana. Aku malah takut kalau-kalau nggak bisa bayar. Tahu sendiri ‘kan, aku nggak biasa bawa uang banyak. Untungnya sih, Yuki yang bayarin. Hehe....” VJ manyun. “Tapi, ada sebelnya juga.”

“Apa?”

“Gara-gara salah beli tiket nonton, Yuki ngomel-ngomel. Aku jadi diliatin orang. Malu ‘kan.”

“Hahaha.... Emang enak.”

Tiba-tiba saja ponsel VJ bunyi. Kulihat ia senyum-senyum sendiri. Kenapa nih anak?

“Siapa?” tanyaku selesai dia membaca SMS yang diterimanya.

“Yuki. Katanya dia minta dijemput sama kamu tuh. Nih, lihat,” katanya sambil memperlihatkan pesan Yuki.

‘ Dhan,jmpt gw d kmps skr jg! ajak VJ sklian. XD ’

“Kok kirimnya ke kamu?” tanyaku.

“Emang kamu punya ponsel? Payah.” tanyanya balik. “Makanya, beli. Hari gini masih nggak mau punya ponsel,” katanya lagi. Aku hanya mesem-mesem.

Sesampainya disana, sudah menunggu Jyung-il dan Yuki. Kami kemudian pergi ke tempat Yuki biasa nongkrong. Tempatnya? Bengkel kafe. Tempatnya kecil, tapi cukup bagus, kapan-kapan aku bisa memperbaiki mobilku disini. Tapi untuk bisa sampai kemari bisa-bisa ada bintang menari diatas kepala. Pusing!

“Kayaknya ini waktunya deh,” kata VJ.

Waktu? Waktu apa?

“Iya, sepertinya ini waktu yang tepat untuk bilang ke orang itu,” sahut Jyung-il pula.

“Hey, waktu apa sih?” tanyaku penasaran.

“Nggak tahu ya. Masa dia nggak merasa sih. Padahal 'kan jelas banget. Apa dia batu? Nggak berperasaan banget, deh,” kata Yuki.

“Kalian ngomong apa sih?” Aku kebingungan.

“Mau tahu aja urusan cewek,” kata VJ ketus.

“Ya sudah. Aku pulang aja, ya. Kayaknya aku nggak diperlukan sekarang.”

“Eee, tunggu-tunggu. Duduk dulu. Begitu aja udah ngambek. Sebenarnya, kita ini sedang ngomongin kamu.”

“Aku?” kataku sambil menunjuk hidung. Dan mereka mengangguk secara bersamaan.

“Sebenarnya, diantara kita bertiga ini ada yang suka sama kamu.”

Alamak! Mendengar itu, aku bagai disambar petir. Aku menampar pipiku. Ini pasti mimpi.

“Ini bukan mimpi. Dan kamu tidak akan kesepian lagi kalau akhir pekan.” kata Jyung-il.

“VJ, bilang ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi ‘kan?”

“Nggak, ini bukan mimpi kok, beneran.” Plak! Ia menamparku. “Sakit ‘kan? Artinya ini bukan mimpi. Percaya deh. Kamu masih ingat waktu kita pergi ke Osaka? Sebenarnya, kamu itu dikenalkan sebagai pacarnya Yuki.”

Apa? Aku hanya melongo. Pantas mereka senyum-senyum dan cekikikan sendiri sewaktu perkenalan di rumah nenek Yuki. Aku membanting tubuhku ke kursi hingga terjerembab ke belakang.

Gubrak!!

“Dhan, kamu nggak apa-apa kan?”

“Nggak. Aku nggak apa-apa.” Aku mencoba berdiri. “Dan perjalanan itu?”

“Itu Yuki yang minta. Katanya, minta waktu untuk bisa dekat sama kamu. Tapi kayaknya kamu sibuk sendiri. Dan sebenarnya, hari ini rencananya orang tuanya Yuki mau ketemu sama kamu.
Soalnya, orang tuanya nggak mau anaknya pacaran lama-lama,” jelas VJ.

“Sebentar, biar Yuki sendiri yang jelaskan,” kataku.

Yuki akhirnya menjelaskan semuanya. Ia sebenarnya akan dijodohkan orang tuanya bila tahun ini belum juga menunjukkan siapa pasangannya. Aduh, zaman seperti ini masih juga ada orang tua seperti itu. Ia memilihku atas rekomendasi dari VJ. Ia percaya padanya. Karena kakak ipar VJ adalah adik dari ibu Yuki.

Ah, VJ, kenapa kau menyerahkan aku padanya.

Take Hold of Every Moment

A friend of mine opened his wife's underwear drawer and picked up a silk paper wrapped package:
"This, - he said - isn't any ordinary package."

He unwrapped the box and stared at both the silk paper and the box.

"She got this the first time we went to New York, 8 or 9 years ago. She has never put it on. Was saving it for a special occasion.
Well, I guess this is it. He got near the bed and placed the gift box next to the other clothings he was taking to the funeral house, his wife had just died. He turned to me and said:
"Never save something for a special occasion. Every day in your life is a special occasion".

I still think those words changed my life.

Now I read more and clean less.
I sit on the porch without worrying about anything.
I spend more time with my family, and less at work.
I understood that life should be a source of experience to be lived up to, not survived through. I no longer keep anything. I use crystal glasses every day... I'll wear new clothes to go to the supermarket, if i feel like it.

I don't save my special perfume for special occasions, I use it whenever I want to. The words "Someday..." and "One Day..." are fading away from my dictionary. If it's worth seeing, listening or doing, I want to see, listen or do it now. I don't know what my friend's wife would have done if she knew she wouldn't be there the next morning, this nobody can tell. I think she might have called her relatives and closest friends.
She might call old friends to make peace over past quarrels. I'd like to think she would go out for Chinese, her favorite food. It's these small things that I would regret not doing, if I knew my time had come.
I would regret it, because I would no longer see the friends I would meet, letters... letters that i wanted to write:
"One of these days".

I would regret and feel sad, because I didn't say to my brothers and sons, not times enough at least, how much I love them.

Now, I try not to delay, postpone or keep anything that could bring laughter and joy into our lives. And, on each morning, I say to myself that this could be a special day. Each day, each hour, each minute, is special. If you got this, it's because someone cares for you and because, probably, there's someone you care about.

If you're too busy to send this out to other people and you say to yourself that you will send it "One of these days", remember that "One day" is far away..... or might never come...


Sebuah surat elektronik yang datang kepadaku beberapa waktu lalu. E-mail itu datang bagai sebuah pukulan telak yang menghantamku.
Benar. Aku memang mempunyai sebuah bungkusan yang kusiapkan untuk sebuah kesempatan khusus. Yang akan kuberikan kepada seseorang yang khusus pula. Aku menunggu saat itu datang. Saat dimana aku bisa memberikan sesuatu yang sangat kusuka dan kusimpan sejak lama. Hingga....
Saat itu tiba. Ketika kutemukan seseorang yang khusus itu datang. Mengisi relung hati. Menjadi teman dalam kesedihan dan kegembiraan.
Kami bergembira. Menghabiskan waktu bersama. Merangkai pikiran dan masa depan yang sedianya akan kami lalui bersama. Hingga....
Berita itu datang. Ombak besar menenggelamkan kapal yang ditumpanginya.
Tapi, sejatinya, ombak besar yang menghantam kapal itu menenggelamkan masa depan semua penumpang dalam kapal. Termasuk diriku.
Bungkusan itu. Untuk saat yang istimewa. Aku menunggu saat yang istimewa itu. Ketika aku mengatakan padanya bahwa dialah yang kusayang. Ketika aku ingin memintanya menemaniku seterusnya. Sayangnya, saat yang kutunggu itu tak kunjung datang. Ombak besar mendahului kedatangannya. Dan yang sampai padaku adalah berita tentang tenggelamnya kapal yang ditumpangi dan membawanya serta ke dalam laut.
Dan, surat elektronik itu datang. Mengingatkanku akan setiap saat yang kulalui bersamanya. Ketika kurenungkan, maka setiap kali bersamanya adalah saat yang istimewa. Saat kami tertawa bersama, adalah saat yang indah. Saat kami berselisih, adalah saat yang indah. Karena dalam keadaan itulah aku belajar, bahwa manusia itu berbeda. Walaupun kami punya kesamaan, kami juga punya perbedaan.
Ya. Seharusnya kita menjadikan setiap saat dalam hidup kita adalah saat yang istimewa.