Friday, October 25, 2013

Tentang rasa #2

Bicara tentang hubungan dengan pasangan, terutama pasangan resmi, ada sebuah pertanyaan yang sedikit mengganggu. Tentang rasa.

Pada orang tua dahulu, yang mengalami perjodohan, mereka tidak (sempat) memikirkan soal rasa suka, apalagi cinta. Banyak diantara mereka bilang, rasa itu datang kemudian. Setelah saling terbiasa. Dan umumnya pernikahan mereka berlangsung cukup lama, kalo ga bisa dibilang awet, atau bahkan selamanya. Beda halnya dengan orang masa kini yang banyak diantara mereka bilang menikah (harus) dengan orang yang dicintai. Namun, nggak sedikit yang kemudian pisah dengan alasan sudah tidak cinta lagi.

Dari sekian banyak perjanjian antara manusia yang dipersaksikan oleh Tuhan, perjanjian pernikahan adalah salah satu yang utama. Karenanya perpisahan adalah sesuatu yang dibenci. Namun saat ini begitu mudahnya suami istri berpisah karena masalah "ringan".

Apa yang dicari
Pertanyaan mudah tapi sulit untuk dengan mudah menjawab. Untuk menjawabnya seseorang harus melihat ke dalam dirinya dulu dan kemudian bertanya pada dirinya sendiri.

Hidup dengan orang lain dan menjadikannya bagian dari diri, keluarga dan masa depan adalah bukan hal yang mudah. Ketidaktahuan akan masa depan adalah satu dari sekian masalah. Tidak satupun yang tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan bahkan peramal sekalipun.

Ketika memutuskan untuk menikah, baik itu diawali dengan masa pacaran atau "hanya sekedar" perkenalan biasa, rasa suka memiliki peran yang cukup penting. Namun, tidak sedikit pula yang melanjutkan ke jenjang pernikahan tanpa memiliki rasa suka sedikitpun. Dan terjadilah pernikahan tanpa adanya rasa suka terhadap pasangan. Tidak perlu bertanya kemana rasa cinta, karena bahkan rasa suka pun tiada. Justru yang menjadi pertanyaan adalah, sanggupkah untuk tetap melanjutkan pernikahan tanpa adanya rasa dan bertahan hingga ajal tiba?

Banyak kisah hebat yang dilatarbelakangi oleh cinta. Bukan sekedar suka. Lantas, bisakah menjadi sebuah kisah hebat sebuah keluarga jika bahkan diantara pasangan tidak tumbuh rasa cinta?

Wednesday, September 4, 2013

Mahar (Pembahasan #2)

Bersebab halusinasi bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan #mahar hingga milyaran rupiah nilainya, seorang akhwat bahkan bersungut-sungut menolak bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah penggembala. Padahal riwayat yang menunjukkan setiap nabi pernah menjadi penggembala adalah shahih. Riwayat Imam Bukhari, Bro.

"مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ ,فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ "
"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing. (Para sahabat) bertanya, “Termasuk engkau juga?” Beliau menjawab: “Ya, aku pun mengembalakannya dengan upah beberapa qirath untuk penduduk Makkah.” HR. Bukhari. | Qirath adalah ukuran untuk perak dan emas.

Sebagian orang gegabah menolak riwayat yang shahih hanya karena mendengar kisah. Sungguh, ahli hadis beda dengan ahli hadas. Mereka menolak karena terpukau ucapan sebagian manusia bahwa Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam mulai berbisnis usia 8 tahun. Padahal inilah usia ketika Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam berpindah pengasuhan dari kakeknya kepada pamannya.  Bukankah usia itu Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam pergi ke Syam? | Bedakan diajak bepergian dengan berbisnis.

Soal mahar, Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu mengingatkan, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita karena jika (mahalnya) mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” Riwayat Abu Dawud.

Ini merupakan riwayat yang shahih tentang mahar dan bertutur tentang apa yang seharusnya kita perhatikan saat menikah sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berlebihan dalam memberikan mahar. Sebaik-baik contoh adalah Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Beliau konsisten dalam ucapan maupun tindakan. Pun soal mahar.

Jika benar kita mencintai Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam, maka kita harus meyakini apa yang diperintahkannya, termasuk soal mahar. Mari kita ingat sabda Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam, "خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ"  "Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah." HR. Abu Dawud & Al-Hakim | Mudah prosesnya, murah maharnya, mudah pula mencari mahar.

Ada hadis senada tentang ini, "خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” HR. Abu Dawud.

Ini semua menegaskan larangan berlebihan dalam mahar, termasuk dalam perkara ini memahal-mahalkan dan menyulitkan urusan mahar. Yang paling penting untuk kita harap dalam pernikahan adalah barakah. Bukan sakinah. Salah satu kuncinya justru sederhana dalam mahar.

"إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيَْسَرُهُ مُؤْنَةً"  "Sesungguhnya pernikahan yang paling besar barakahnya ialah yang paling mudah maharnya." HR. Ahmad. | Perhatikan betapa pentingnya menyederhanakan mahar | Lihat, kuncinya pada mahar.

Berapakah mahar yang diberikan Rasulullah Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam kepada istrinya? Tidak melebihi 12 uqiyah 1 nasy. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata, mahar yang diberikan Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam tak pernah melebihi 500 dirham.

Berapa nilai 500 dirham itu? Ukurlah nilainya saat itu di sana (catat: DI SANA!), lalu takarlah menurut ukuran sekarang di sana. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz menunjukkan bahwa 500 dirham WAKTU ITU setara dengan lebih kurang 130 riyal SEKARANG.

Ini dapat kita jumpai pada (edisi terjemah) "Fatwa-Fatwa Terkini". Jika dirupiahkan, lebih kurang sama dengan Rp 325.000,-. Nah. Maka, apakah yang menghalangi kita untuk meringankan mahar jika ini menjadi jalan kebaikan? Bukankah kita menyimak dalam riwayat bagaimana Rasulullah menyerukan kepada kaum muslimin untuk memudahkan mahar?

Ketika seorang laki-laki tak sanggup memberikan mahar berupa harta berharga, Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam bahkan bersabda, “Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi" (HR. Bukhari). Dan ketika cincin terbuat dari besi pun tak dapat dtemukan lelaki itu, Nabi menikahkannya dengan mahar bacaan beberapa ayat Al-Qur’an.

Perhatikan hadis shahih tentang teguran Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat yang menikah dengan mahar 4 uqiyah. Dalam hadis shahih riwayat Muslim ini, Rasulullah menegur karena mahar 4 uqiyah sudah termasuk berlebihan untuk ukuran sahabat tersebut.

Tentang hadis tersebut, Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Larangan memperbanyak mahar ini bertalian dengan keadaan suami." Mudahnya mahar berhubungan dengan tingkat kesulitan memperoleh mahar dan murah tidaknya mahar. Mahal dalam hal mahar mengacu pada mahar mitsil, yakni mahar yang umum berlaku di masyarakat di tempat itu serta kemampuan calon suami.

Lalu bagaimana dengan mahar Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam kepada Khadijah yang konon bermilyar-milyar itu? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar tidak salah mengambil kesimpulan. Apalagi ini berkait klaim terhadap Nabi.

Pertama, adakah riwayat yang memenuhi standar untuk dijadikan pegangan? Bagaimana kedudukan riwayat tersebut? Shahih?

Kedua, mungkinkah Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam termasuk orang yang bertentangan antara kata dan perbuatan? Sesungguhnya Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam memiliki sifat ma'shum. Ma'shum berarti beliau terjaga dari berbuat maksiat, tak terkecuali bermaksiat karena mengingkari ucapannya sendiri.

Ketiga, seandainya (dan pengandaian itu tak dapat menjadi pegangan hukum) riwayat yang menyebut mahar yang beliau berikan luar biasa besar, ada 2 pertanyaan yang perlu kita ajukan. Pertama, itu mahar Muhammad atau Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam?

Sebelum bi'tsah (pengangkatan beliau sebagai nabi), maka ucapan dan tindakan beliau bukan merupakan acuan hukum. Bagaimana dengan cerita bahwa Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam beri mahar kepada Khadijah 100 atau 1000 unta merah?

Ada beberapa persoalan serius terkait kisah 100 atau 1000 unta merah ini, sehingga tidak dapat menjadi pegangan. Banyak rumor bahwa Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam memberi mahar sebanyak 100 bahkan 1000 ekor unta merah kepada Khadijah.

Sebuah klaim tentang Nabi Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam tidak dapat menjadi pegangan, kecuali riwayatnya shahih. Jika menilik sejarah kehidupan Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam, tidak ada riwayat shahih tentang mahar beliau kepada Khadijah.

Ibn Hisyam meriwayatkan Sirah-nya dari Ibnu Ishaq pernikahan Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam. @salimafillah sudah mentwit ini.

100 ekor unta merah (bukan seribu) adalah hibah Khadijah. Bukan mahar Nabi. Catat lagi: hibah Khadijah kepada Abu Thalib. Abu Thalib kemudian menghadiahkan 100 unta merah itu untuk pernikahan Muhammad dan Khadijah. Perhatikan: ini bukan mahar Muhammad. Jadi, dapat kita katakan bahwa 100 unta merah itu dari Khadijah kembali kepada Khadijah untuk pernikahannya melalui Abu Thalib.

Abu Thalib menghadiahkan 100 unta merah yang dihibahkan Khadijah Ini sebagai penghormatan terhadap kedudukan Khadijah. Dari sini kita dapat simpulkan bahwa mitos tentang mahar Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam kepada Khadijah adalah tidak benar.

Terlepas dari itu, ada sirah dan maghazi (kisah peperangan) merupakan dua wilayah yang sangat rawan dalam soal periwayatan. Maka kita harus berhati-hati dalam melakukan klaim terhadap Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Harus ada riwayat yang kuat. Gegabah mengklaim atas nama Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam dapat menjerumuskan kita terhitung berdusta atas nama Nabi.

Renungi hadis ini, "إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ" “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” HR. Bukhari

“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” HR. Bukhari-Muslim

Renungi pula hadis ini, “Barangsiapa berkata-kata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengucapkannya, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” HR. Bukhari. | Semoga catatan tentang mahar ini bermanfaat.

Masih banyak yang ingin saya perbincangkan tentang mahar, tetapi untuk sekarang cukuplah sampai di sini. Semoga bermanfaat & barakah.

@kupinang

Wednesday, August 28, 2013

SineTwit: Nikah atau Karir?

Suatu malam, tak sengaja melihat mimin @TweetNikah bikin sinetwit. Silakan menikmati, eh, membaca....

Pacar Mitha mengajak nikah, konsekuensinya dia harus keluar karena kerja sekantor, padahal karir lagi bagus2nya. Ditambah lagi, bulan depan Mitha dipromosikan jadi Manager Pemasaran. Posisi yg diidam2kannya sejak lama. Income bulanan? Yah sejauh ini minimal 7juta sebulan udah bersih dikantongin. Apalagi pas naik jabatan nanti. Pacarnya, Fahri meski bukan karyawan berprestasi, tapi di kantor terkenal karena sikapnya yg ramah & baik. Gaji Fahri? 5 Juta sebulan udah sama lembur2 gitu :))
Mitha galau, Fahri memberi syarat setelah nikah harus laki2 yg nyari nafkah, otomatis Mitha yg keluar perusahaan. Alasan Fahri mendesak Mitha nikah, karena ibunya kena kanker udah stadium IV, divonis usianya ga lama lagi.
Ibunya berpesan, "Tong, - panggilan kesayangan Fahri :)) - Ibu pengen kamu nikah, rasanya ajal ibu udah dekat...."
Fahri kaget mendengar permintaan ibunya, matanya membelalak, gelas di tangannya jatuh! *Zoom in, Zoom out*
Mitha menelpon orangtuanya (beda pulau) untuk mengabarkan hal itu. Mau ga mau harus diberitahu, kan?
"Apaaa!! Kenapa mendadak seperti itu? Ibu menyekolahkan kamu susah payah, masa mendadak nikah? Pokoknya Ibu nggak setuju!" Brak! Telpon dibanting. Ibu Mitha menangis di pangkuan suaminya. #eaaa
Mitha bingung.. Karena udah jam makan siang, dia memutuskan nyari warung nasi padang dulu.
.
.
.
Setelah makan nasi padang & tambuah 3 piriang, Mitha memutuskan balik ke kantor, minta pendapat sama bossnya. Boss Mitha seorang wanita paruh baya, cantik & tidak menikah. Sebut aja namanya Dewi.
"Bodoh kamu Mit, kalau memutuskan menikah di usia semuda ini.. Apalagi karirmu cukup bagus." Bu Dewi menggeleng2. "Kalau saya dulu nikah seusia kamu, pasti deh ga bakal jadi pimpinan seperti sekarang. Bakalan di dapur deh gw," kata Dewi. "Kalau cowo, jangan takut. Sekarang aja saya ganti2 trus tuh kalo udah bosen." *Dari kepala bu Dewi pelan2 tumbuh tanduk*
"Yakin kamu mau ngelepasin karir demi Fahri? Abis nikah mau rebus batu apa buat makan?" Nyinyir Dewi.
Mitha tersentak, ga kebayang nasi padang kegemarannya bakal diganti sama batu rebus setelah nikah. Pedih hatinya. Mitha diam2 setuju dg Dewi. Tapi gimana bilang ke Fahri & Ibunya? Apalagi pacaran udah 7 tahun
Lanjut ke cerita Fahri. Tapi karena dia lagi sholat Ashar, kita tungguin abis dia sholat dulu ya.
Keluar masjid, Fahri melihat 3 missed call dari Mitha. Diapun nelp balik. *ga lupa aktifin TM dulu*
"Mas, aku udah telpon ibu tapi ibu ga setuju. Jujur, aku sebenernya juga blm siap." Mitha ga cerita omongan Dewi :))
Fahri lunglai. Gimana ngomong ke ibunya? Sebelum nutup telpon, Fahri memastikan "tapi kita ga putus kan beb?"
"Ngga beb"
Malamnya, di rumah.. Fahri masih blm ngomong ke Ibunya tentang keputusan Mitha & berharap ibunya ngga nanya skrng.
"Fahri, ibu mau nanya."
DEG!!
"Kamu udah jadi daftar belum seminar yg kamu bilang tgl 31 Agst itu?" *buru2 sms*
"Satu lagi, gimana jadinya pernikahan kamu? Udah jadi ngomong ke keluarga Mitha?" Fahri bingung gimana jelasinnya. "Sebenarnya Ibu kurang setuju sama Mitha, lebih baik kamu nikah sama Sari. Lulusan pesantren, jilbaban lagi."
Tapi Fahri ngga tertarik sama Sari, selain wajahnya kurang cantik, juga ngga secerdas Mitha. Sepertinya Ibu Fahri mencium gelagat kalo keluarga Mitha ga setuju karir Mitha terhambat gara2 nikah cepat.

*spoiler*
Gimana kelanjutannya? Apa yg dipilih Mitha? Karir atau nikah? Kita lanjutin nanti malam yak.. *pegel jempol*
Ada yg nanya knp Fahri yg gajinya 5jt masih aja ngaktifin TM? Sebagian besar gajinya habis utk bantu biaya ibunya. Jadi harus hemat2 :)

lanjutan....
Ibu Fahri yg mencium gelagat ortu Mitha ga setuju, ingin menikahkan Fahri dengan Sari yg lugu, alim tapi kurang cantik. Namun Fahri menolak, dia kadung jatuh cinta pd Mitha. Ga bisa ke lain hati. Apalagi Mitha cantik & smart. Usaha terakhir, Fahri nelpon ortu Mitha. Tapi ditolak mentah2. Alasan, belon balik modal kuliahin anaknya. :))
Ortu Mitha baru ngijinin nikahnya nanti, 3 taon lagi - Lah, genap dong pacarannya 10 tahun

Kita bahas Sari yah. Meski sederhana, dia alim, engga mau pacaran2. Target calonnya juga ga muluk2. <= sadar diri
Ayah Sari guru ngaji, ibunya buka warung kecil2an depan rumah kontrakan. Usaha kecil, yg penting halal. Sebulan kemudian, Ibu Fahri meninggal dunia. Permintaan terakhirnya tidak kesampaian. Fahri luka bukan main. Mitha merasa bersalah juga, tapi pilihan karirnya yg akan terhambat kalau nikah + larangan ortu ga bisa dia lawan. Ingin melampiaskan sakit hatinya, Fahri datangi ortu Sari, berniat menikahinya. Tapi terlambat....
Sari baru seminggu yg lalu dilamar anak dari sahabat ayahnya. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan 3 bln lagi. Sebenernya Sari menaruh hati juga sama Fahri, tapi sadar dg kondisi, saat ada yg melamar & agamanya baik, dia terima. Rasa bersalah ternyata berpengaruh pada kinerja Mitha di kantor. Ngga fokus & target bulanan sering ga kecapai.
FYI, sejauh ini Mitha ngga tau kalo Fahri udah pernah datengin keluarga Sari.
.
.
.
Bagaimana kelanjutan kisah ini? ~ Jreeeng!
.
.
.
Sejauh ini, apa sih pelajaran yg bisa diambil dari cerita Mitha?
.
.
.
*spoiler*
@uZnii_nduL: Katanya siang min tergantung nasi padang mitha :D
@TweetNikah Mitha lupa dia masih ada utang puasa, jadi dia bayar hari ini
.
.
.
Pasangan seperti apakah yg akan kita pilih menghabiskan sisa hidup, menua bersama?
.
.
.
Kita lanjut yah. Ke Fahri dulu. Kematian ibunya membuat Fahri merasa harus memberi Mitha pelajaran. Memang semenjak itu hubungan Mitha & Fahri renggang. Hanya ngobrol ringan tiap ketemu (Loh! emang sebelumnya ngapain aja?)
Berbeda dengan kinerja Mitha yg merosot di perusahaan, Fahri melampiaskan emosinya ke kerjaan. « Mendadak workaholic.
Bisa jadi sekaligus menyibukkan pikirannya, sehingga rasa bersalah terhadap ibu sedikit teralihkan. Sementara itu, Dewi, pimpinan Mitha memutuskan menunda promosi Mitha jadi Manager pemasaran.
Scene selanjutnya. ~ Mitha bergegas masuk restoran. Fahri ngajak ketemuan membahas sesuatu
"Ada hal penting yg mau gw bicarain, kata Fahri," Mitha merasa aneh, kenapa formal banget bahasa si Fahri?
"Gw.. Mau nikah 2 bulan lagi. Hubungan kita sepertinya ga akan bisa dilanjutin. Cintamu tak terbukti saat dibutuhkan"
"(º̩̩́Дº̩̩̀) Tidaaakk...!" Jerit Mitha. "Tapi...Tapi...Bagaimana dengan hubungan kita? Kamu nikah dengan siapa?"
Sejurus kemudian, masuk seorang wanita dari luar restoran & duduk di samping Fahri.. Tersenyum dan kemudian berkata...
"Maaf Mit, kami ga tau gimana cara bilangnya..." Pandangan Mitha langsung kelam. Wanita didepannya, Dewi boss di kantornya. "Setelah nikah, aku akan berhenti kerja & Fahri yg akan gantiin posisiku di kantor" sambung Dewi.
.
.
.
.
‏@juwitalented: si pelayan blg "poor Mitha, yg tabah ya Tha.. nio tambuah ciek ndak? RT @TweetNikah: Gimana endingnya? Silakan berkhayal masing2 aja. Bebas.

Sunday, July 21, 2013

Tentang Rasa

"...bukankah dengan dialog, kita bisa saling memahami?" - Marina Ismail
"...jika tidak mengatakannya, bagaimana aku bisa tahu apa yang dia rasakan?" - Ensign Andreij Smirnov

Penggalan kalimat diatas dalam serial animasi Gundam 00 bisa dijadikan pertanyaan pada diri kita sendiri, sudahkah kita jujur - setidaknya - pada diri kita sendiri tentang apa yang kita rasakan, pikirkan, tentang orang lain - teman, keluarga, kekasih.

I'm walking with my head lowered in the shame for my place
I'm walking with my head lowered for my race
yes its easy to blame everything from the West
when in fact all focus should be on our self
 

(Maher Zain - Awaken)

Mudah menyalahkan sesuatu diluar diri sendiri, adakah ini salah satu tanda kita takut untuk jujur pada diri sendiri? Bukankah kita sudah secara jujur berani berkata bahwa manusia adalah makhluk berpikir dan menyatakan bahwa tidaklah ada kesempurnaan pada diri kita? Lantas, kenapakah kita masih takut untuk meraba, melihat kedalam diri kita sendiri dan menerima bahwa benar kita bukan/tidaklah sesempurna itu?

Takut, rindu, cinta, suka, katakan saja. Setidaknya mereka mengetahui apa yang kita rasakan. Mungkin bukan ditujukan kepada mereka rasa itu, namun, membebaskan diri kita sendiri dari beban rasa sepertinya lebih baik ketimbang menyimpannya hingga kemudian keterlaluan matang dan sudah terlambat untuk bisa disampaikan.