Friday, December 11, 2015

Bunga di Tepi Jalan



Perjalanan paling jauh yang bisa ditempuh oleh manusia bukanlah perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, melainkan perjalanan dari pikiran ke hatinya sendiri. Perjalanan dalam rangka meruntuhkan ego, merendahkan hati, menjadikan ikhlas, lebih bersabar, dan lebih bertakwa. Perjalanan yang membutuhkan (banyak sekali) iman. Semoga Allah masih menjadi yang pertama.
Kurniawan Gunadi

Suatu hari minggu diajak seorang teman pergi menikmati hari libur yang cuma sekali seminggu itu. Berkenalan dengannya ada timbul rasa suka. Merasa seperti menemukan seseorang di frekuensi yang sama. Yah, bekerja di proyek dengan segala keterbatasannya dan bertemu dengan seseorang yang “klik” adalah sebuah kemewahan.

Bermula dari ajakan untuk menikmati air terjun dan berkecipak didalamnya hingga kemudian menikmati waktu bersama di sebuah ibukota propinsi demi memuaskan secuil keinginan. Berbagi cerita dari yang ringan hingga mendalam dan ternyata aku menemukan banyak kepahitan. Banyak tarik ulur yang terjadi, kekecewaan, kesedihan dan kemudian pelampiasan.

Paradoksal yang sama yang pernah aku alami. Dengan level berbeda.

Sebuah titik nadir.

Pernah aku katakan padanya, aku nggak pernah tau dengan siapa akan berjodoh, karenanya, kubilang sedang belajar untuk lebih menghargai orang lain. To be less judgemental. Religious people tends to be judgemental. And unbelievers are more careless. Itu kataku.

Ada banyak keterkejutan yang kualami walau seharusnya biasa saja karena pernah kulihat. Dulu. Aku nggak ingin menanyakan dengan siapa dia pertama kali melakukan seks walau ada pertanyaan itu di kepala. None of my business. Karena kemudian aku lihat, jarak yang terjadi dengan orang tua lah yang menyebabkan itu terjadi. Sok tahu, ya? :-)

Anak2 yang berjarak dengan orang tuanya seringkali melangkah pada jalan yang berbeda dari yang diharapkan. Lingkungan, pergaulan. Sudah banyak contoh yang kulihat. Walau satu dua ada yang tidak.

Suatu kali pernah kudapati seorang teman mendapat nasehat dari ayahnya ketika dia kuliah dan beda kota. “Boleh minum bir, menggauli perempuan, tapi jangan sekali-kali buat mereka hamil,” itu pesan ayahnya. Dan ternyata bukan itu saja yang kudapati kemudian.

Kekerasan dalam rumah tangga. Broken home. Ini hanya contoh.

Beberapa dari mereka yang mengalami hal ini kemudian menjalani pergaulan yang bebas. Diantaranya bahkan terlalu bebas dalam konteks masyarakat Indonesia tradisional dan religius.

Ketika dia mendapat beasiswa keluar negeri dari kerabat yang pengurus masjid, maka disinilah yang kupahami awal dari kesakitannya. Dan apa yang kupahami, bisa saja salah.

Setelah menghadapi kekerasan dari ayahnya, ketika di negeri orang pun dia menghadapi kekerasan yang sama. Abusive boyfriend. Dan tidak hanya itu, diperlakukan bak piala yang dipamerkan. Jika kalian pernah membaca novel Bekisar Merah, kurang lebih seperti itulah yang terjadi sebagiannya.

Seakan belum cukup kesakitan yang dirasakan, dia merasa ditambah dengan dikucilkan oleh fellow country men yang melihatnya setiap hari hanya berpesta. Dan disini sudut pandang berbicara.

Bagi orang yang merasa religius, pergi ke kelab malam hingga mabuk dan kumpul dengan banyak laki-laki dan perempuan yang bukan keluarga adalah sama dengan pesta. Ini belum ditambah dengan kebebasan seksual. Sementara bagi mereka yang tidak peduli menganggapnya sama saja dengan cara pergaulan biasa. Work hard, play hard.

------

Dalam suatu obrolan, “Laki-laki cenderung gunakan kepala bawah daripada kepala atas,” kataku.

Mas, itu karena kamu belum pernah menggunakannya.

“Belum perlu, karena jika mereka memahaminya, pasangan seharusnya lebih berharga dari sekedar pemuas nafsu. Because what’s matter is in the heart and the head, not the dick.”

….

Aku nggak percaya kamu belum pernah pacaran atau ciuman atau seks,” ujarnya.

“Terserah kamu percaya atau enggak, tapi itulah kenyataannya. Karena aku percaya di dunia ini berlaku vice versa. Jika aku ingin pasanganku menjaga diri, maka begitupun diriku. Dan karena aku ngga tahu akan berjodoh dengan siapa maka aku berusaha sebaik mungkin untuk bersikap terbuka. And be less judgemental.”

….

"Ada yang pernah bilang padaku, kebaikan yang kita terima hari ini bukan karena apa yang sudah kita lakukan. Tapi karena apa yang sudah dilakukan oleh orang tua-orang tua kita terdahulu."

"Begitukah?"

"Ya. Pernahkah kamu terima kebaikan dari orang asing karena orang tersebut menerima kebaikan dari orang tuamu? Ini sekedar contoh."

"Pernah. Karenanya kita harus berterima kasih?"

….

"Kamu tahu, setiap kali aku melihat perempuan yang dekat denganku, aku selalu teringat adikku. Peristiwa yang membuatku selalu ingat, bahwa sebuah lingkaran (kekerasan) harus diputus."

"Maksudmu gimana, mas?"

"Sekali seorang perempuan terkena pukul, maka besar kemungkinannya di masa depannya dia akan mengalami hal yang sama. Karenanya aku ngga mau itu terjadi. Maka, apa yang aku harapkan terjadi pada adikku dari perlakuanku, begitu pula yang akan terjadi pada pasanganku nantinya."

"Kamu terlalu, mas."

"Kamu ingat ini, laki-laki bertanggung jawab terhadap 4 perempuan: Ibunya, saudarinya, istrinya, dan anak perempuannya. Ini bukan kataku, Tuhan kita yang bilang."

Dia tertawa, "Ngga gampang ya ternyata jadi laki-laki...."

Never. 

….

Aku sekarang ini hanya ingin membiarkan diriku menikmati apa yang sudah aku capai. It’s time for me to recovery.

“Iya, ini hanya saran. Mulailah dengan memaafkan diri sendiri dan memaklumkan diri, itu sudah terjadi dan terimalah. Karena bagaimanapun, itu adalah bagian dari dirimu. Di masa lalu, dan yang membentukmu di masa depan.”

….

Pada satu titik, aku butuh sesuatu yang berisik seperti ini. Karena kepala sudah terlalu penuh,” katanya suatu waktu di night club.

“Iya, tapi nanti kamu harus hadapi lagi kenyataan. Dan ini meaningless,” kataku.

Biarlah, nanti akan aku hadapi lagi.

….
 
"Mas, sadar kan kalo suatu saat kita pasti berpisah? Lantas, gimana kamu nanti kalo beneran kita pisah?"

"Nikmati apa yang ada sekarang. Buat senyaman mungkin. Soal nanti kita berpisah, atau bahkan lost contact, ya udah, itu nanti. Karna bisa jadi jodoh kita hanya sampai situ aja. Berjodoh dengan seseorang enggak cuma sebagai pasangan. Jodoh itu seperti rejeki. Kalo ketemu orang, berteman baik lantas kemudian berpisah. Maka sampai situ lah jodohnya dengan orang itu." Dan bukan aku tidak akan merasa kehilanganmu, I would.

"Mas, jangan memelukku terlalu erat. Kamu tahu aku. Dan aku bisa saja kabur kapan aja."

"Aku tahu. Dan aku hanya ingin mengingat masa ini."

------

Akan ada masa dimana kita dipertemukan atau dipisahkan dengan seseorang. Dan seseorang itu entah sedikit atau banyak, memberi sesuatu pada diri kita. Signifikan atau tidak. Dan jika indah dalam masa itu, nikmatilah kebersamaan yang ada.

Ketika kusadari ini maka kucegah hatiku berbicara lebih lanjut.

Seseorang butuh sebuah rumah untuk hatinya. Dan entah apakah dia yang mencari rumah tersebut atau menjadi rumah bagi hati orang lain. Karena disitulah ketenangan sesungguhnya.

You can find or buy any house on earth, but you only can find one place you call home.

Dalam cerita Sun GoKong sang guru selalu berucap "Dunia adalah kosong".
Dan jika dunia adalah kosong, mengapa selalu mengejarnya?


apa yang ada jarang disyukuri apa yang tiada sering dirisaukan
nikmat yang dikecap baru kan terasa bila hilang apa yang diburu 

timbul rasa jemu bila sudah di dalam genggaman
dunia ibarat air laut diminum hanya menambah haus
nafsu bagaikan fatamorgana di padang pasir
panas yang membahang disangka air 

dunia dan nafsu bagai bayang-bayang
dilihat ada ditangkap hilang
Dua cinta / Saujana



Setiap orang, mengharapkan akhir yang baik. Dengan banyak versi tentunya. 
Untukmu, pun demikian aku berharap. Akhir yang baik.
Karena Tuhan punya rencana untuk masing-masing kita. 


Lahat, 121215