Sunday, July 15, 2007

Persimpangan

Mendengar tentang dia dan cerita tentangnya dulu membuatku sempat terkejut. Sampai dengan saat ini, aku belum mendengar seseorang dengan cerita hidup yang begitu ... membingungkan. Dari sudut pandangku tentunya.

Aku hanya mendengar cerita-cerita tentangnya dari teman-temanku yang banyak bergaul dengannya. Hmm..., ada yang menceritakan hal negatif tentangnya, ada pula yang positif. Yah, pastinya kehidupan punya dua sisi. Seperti keping mata uang.

Seorang sahabat berkata, “berhati-hatilah, ia akan bagai keajaiban di matamu”. Sebuah nasehat yang sangat penting. Bukan hanya apa yang dinasehatkan, tapi ia keluar dari seorang sahabat. Dan nasehat dari seorang sahabat adalah sebentuk kasih sayang terhadap sahabatnya.

Saatnya bertemu langsung dengan dirinya. Tak sengaja. Karena ketika itu aku datang ke tempat teman-teman biasa berkumpul. Dan ia pun hadir. Kesan pertama: ia menarik. Wajarlah, karena aku dan dia berbeda jenis kelamin. Tapi kelamin bukan isu utama. Ia...,hmm, bagaimana menggambarkannya..., eksentrik. Tepat, eksentrik.

Waktu pun berjalan. Dan kami pun berteman sampai akhirnya, dekat. Tidak kupungkiri mulai timbul ketertarikan padanya. Dari awal aku diceritakan perihal dia aku sudah tertarik padahal saat itu belum melihat sosoknya.

Ketertarikanku padanya semakin besar seiring juga dengan kebingunganku terhadap sikap dan pribadinya. Semakin aku mengenalnya, semakin bingung aku dibuatnya. Tampak luar ia eksentrik, seperti kesan pertama yang kudapat. Tapi ketika beberapa waktu kemudian kulihat ia kesepian. Bukan tanpa teman, karena temannya berserakan dimana-mana. Gaul, maksudnya.

Dalam sikapnya yang eksentrik, ternyata menyimpan banyak hal yang tak kusangka sebelumnya. Masalah yang ada terlihat mudah di depannya, tapi ternyata dalam pikiran dan perasaannya ia membawa masalah yang lebih besar lagi. Keinginannya untuk diperhatikan ternyata tak terlepas dari latar belakang keluarganya yang broken home. Nyatanya ia tak mengizinkan seorang pun mendekat dan “memeluknya”. Ibarat mengajak orang masuk ke dalam rumah tetapi pintu rumah itu dikunci dari dalam. Ia juga tak bisa melepaskan pikiran dan perasaannya terhadap orang yang dicintai sekaligus dibencinya. Ia bilang, karena ia hidup bersama mereka.

“Mendingan lu buang deh, perasaan itu. Gue bukan sirik sama lu, tapi karena lu tanya gue.”

“Tapi gue....”

“Denger, ya. Jadi pahlawan itu baik, bagus malah. Tapi sok jadi pahlawan itu nyebelin. Dan itu bukan lu. Dan gue juga nggak suka lu kayak gitu. Perasaan boleh di denger, tapi juga harus rasional. Jangan sampai kejadian lu sama Tri terulang. Nanti, jangan bilang gue nggak ngasih peringatan ke lu soal ini.”

Thursday, July 5, 2007

SETERANG BINTANG DI MALAM HARI

Bintang. Tampak indah bila langit terang. Dan bila melihatnya, aku merasa dadaku lapang. Malam ini memang terasa indah. Benar apa yang dikatakannya. Dengan melihat langit dan bintang, setidaknya akan membantu meringankan sesak yang kurasakan dalam dada.

Kata guru fisikaku, untuk dapat menjadi sebuah bintang yang baru, harus melalui waktu yang sangat panjang. Bisa ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun untuk dapat bersinar terang. Pun untuk menjadi sebuah bintang kecil, tak terkecuali.

Ah, mungkin itu juga yang sedang dilaluinya sekarang ini. Ookina Tomoyoshi – aku memanggilnya Te-chan. Ia bilang ingin menjadi artis ngetop. Ia ingin band-nya seperti halnya X-Japan atau L’Arc en Ciel yang terkenal seantero Jepang.

Sepertinya aku terlalu egois dengan meminta perhatiannya terlalu banyak. “If you were here, I’ll marry you!” katanya melalui telepon ketika kutanyakan mengapa ia memintaku untuk merelakan dirinya. Ia memang blak-blakan, seperti saat pertama kukenal. Saat itu ia tak percaya aku tinggal di Jogja.

[takeru_senpai] what? r u sure?

[kuro_chan] yea

[takeru_senpai] well then, c u there

Dan benar. Ia benar-benar datang ke Jogja ketika liburan sekolah. Sebelum datang kemari berkali-kali ia menelponku untuk memastikan aku menjemputnya. Ia ingin liburan ke Jogja bersama teman-teman band-nya dengan aku sebagai pemandunya.

Di bandara Adi Sucipto aku duduk di ruang tunggu. Pesawat yang ditumpangi Te-chan belum mendarat. Dadaku berdegup. Walaupun kami akrab dan saling mengenal suara serta wajah – kami bertukar foto melalui email –, tetapi itu hanya sebatas di ruang maya. Baru kali inilah aku bertemu muka dengannya secara langsung.

Kulihat di papan informasi kedatangan pesawat Japan Air Lines yang ditumpangi Te-chan mendarat. Kuperhatikan satu-per-satu penumpang yang keluar dari pesawat sambil mengangkat papan yang bertuliskan “Te-chan, Iraiyashimasu! (selamat datang, Te-chan!)” dalam tulisan Jepang.

A ha, itu dia yang sedang melambai ke arahku. Ternyata perawakannya seperti apa yang kubayangkan, hanya sedikit lebih tinggi dariku.

“Ookina Tomoyoshi, right? Welcome to Jogja.”

“Right! Aldina Pramesti?” katanya menanyakan namaku seperti orang sedang mengeja.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Hihi, kasihan, dia susah payah mengucapkan namaku.

“Meet all my friends. Ini Kaede, Sakuragi; panggil saja Kaze, Arai, dan sahabatku Yoong-ju. Kau sudah mengenalnya.”

“Halo semua. Baiklah, mari kita pergi sekarang. Dimana kalian akan menginap? Di hotel atau penginapan?”

“Bagaimana kalau di rumahmu saja?” kata Yoong-ju sambil diamini oleh Te-chan.

“Tapi rumahku kecil.”

“Tidak masalah. Kami sudah terbiasa,” katanya sambil sedikit memaksa.

“Baiklah kalau begitu.”

Begitulah, selama di Jogja Te-Chan dan teman-temannya tinggal di rumahku. Dan tempat pertama yang ditanyakannya adalah: dapur. Hari pertama tinggal di rumahku aku mengajaknya berkeliling kampung. Kutunjukkan padanya tempat-tempat yang biasa kukunjungi. Hmm, dari ekspresinya, sepertinya ia merasa seperti di rumah. Bisa terlihat karena keluargaku cukup dibuat repot olehnya yang sering tiba-tiba saja memasak di dapur. Merasa tak enak karena justru tamu yang memasak.

Hari berikutnya aku mengajak mereka pergi ke Malioboro untuk jalan-jalan sambil menikmati pemandangan. Selanjutnya pergi ke Keraton, Kota Gede, kampus UGM dan seterusnya. Pokoknya kami kelilingi kota Jogja. Lalu kami pergi ke Parangtritis, dan ke Gunung Merapi.
Tentang kebiasaan Te-Chan memasak, ternyata memang kebiasaannya di Jepang memasak sendiri. Tapi sayang, tak bisa menghabiskan masakannya sendiri. Jadilah, kami berlima yang membantu untuk menghabiskan masakannya. Enak. Tak perlu repot memasak dan, sungguh, masakannya seenak makanan di restoran mewah.

Semenjak kunjungannya ke Jogja itu, hubungan kami makin intens. Walaupun hanya sebatas lewat telepon atau e-mail, bagiku itu cukup. Aku sadar, ia bukan orang Indonesia. Dan ia juga tak bisa selalu datang ke Jogja.

Komunikasi yang kami lakukan ternyata diamati. Baik oleh sahabatku Mia, terutama Yoong-ju. Ia bilang padaku untuk hati-hati. Tadinya aku nggak ngerti. Apa maksudnya? Aku baru ngeh ketika Te-chan mengatakan sayang padaku. Ia mengatakannya berulang-ulang, lewat e-mail, surat, juga telepon. Dan akhirnya, ia memintaku untuk jadi pacarnya.

“Apa jawabmu?” tanya Mia antusias.

“Aku belum jawab.”

“Yoong-ju?”

“Tahu nggak? Te-chan dilempar sandal waktu dia nembak aku. Katanya,’bodoh, kenapa nggak ngomong langsung ke orangnya? Nggak romantis tahu!’”

“Ha? Dilempar sandal? Hahahaha....” Mia terbahak. Mungkin sambil memikirkan apa yang terjadi saat itu.

Setelah didesak Mia, baru aku menjawab Te-chan. Aku bilang iya, aku mau jadi pacarnya. Dari suara di telepon, kudengar ia berjingkrak kegirangan. Yoong-ju bilang, Te-chan jadi seperti orang gila menungguku menjawab permintaannya.

Sampai beberapa waktu hubungan kami hanya bisa melalui e-mail dan telepon. Benar kata Mia, hubungan jarak jauh itu sulit. Hanya bisa terobati sementara lewat chatting dan telepon. Nggak bisa ketemu langsung. Kalau saja nggak saling percaya mungkin nggak akan bertahan lama.
Menurut Mia, Te-chan cukup romantis. Sering kirim kartu ketika dia pentas di suatu kota. Ketika aku ulang tahun ia mengirimkan sebuah boneka Hello Kitty yang cukup besar berwarna merah muda. Sampai-sampai Mia minta dikirimkan satu lagi.

Aku merindukannya. Sangat. Dan entah kenapa aku sering berkeras memintanya untuk datang kemari. Terkadang aku sadar bahwa itu sulit. Terlebih, saat ini mereka sedang merintis karir di bidang musik. Dan saat ini adalah saat-saat yang paling genting. Ia memintaku agar sedikit mengerti.

Yoong-ju pernah cerita padaku betapa tertekannya Te-chan sewaktu aku ngambek karena ia lupa kirim kabar. Padahal saat itu Te-chan, Yoong-ju, Kaze dan yang lainnya terikat kontrak untuk segera membuat album. Dan aku justru malah menambah bebannya.

Hari ini aku menerima sebuah bungkusan yang dikirim dari Jepang. Dari Te-chan. Dalam bungkusan itu juga ada surat. Ditulisnya dengan tangan:

Semoga dengan ini bisa mengobati rindumu.
Kau akan selalu menjadi bintang di hatiku.


Ketika kubuka bungkusan itu, ternyata sebuah kalung berwarna putih berbentuk bintang. Di belakang bintang tersebut tertulis inisialku: AP.

Ketika kalung itu kuperlihatkan pada Mia, ia terharu.

“Jangan dilepas!” kata Mia kemudian.

“Apanya? Kalungnya?”

“Keduanya, Aldina! Kalau aku jadi kamu, Te-chan nggak akan kulepas. Nggak akan rela!”
Kata-kata Mia terus terngiang di telingaku. Ia terus bilang, bahwa aku beruntung. Beruntung punya seorang pacar seperti Te-chan. Tapi, sungguh, saat ini aku benar-benar ingin dia ada disini.

“Jadi?”

“Saat ini aku tak bisa penuhi permintaanmu. Karena itu aku hanya minta sedikit pengertianmu.”

“Te-chan...”

“Dina-san,” tiba-tiba suara Yong-ju menggantikan Te-chan di telepon. “Nanti kita bicara lagi.” Setelah itu telepon terputus.

A..apa? Apa maksudnya ini?

Beberapa waktu setelah itu, tak ada lagi telpon atau berita apapun dari Te-chan. Hanya Yong-ju yang meneleponku. Memberitahukan keadaan Te-chan. Tapi aku nggak puas.

Aku sayang kamu, Aldina-dono.”

“Kalau begitu, kenapa begitu sulit untuk datang kemari?”

“Keadaan tidak semudah yang Aldina bayangkan. Sedikiit saja bersabar, tapi, bila Aldina-dono tak sanggup, relakan saya. Onegai, don’t be so selfish. If you were here, I’ll marry you!”

Mendengar itu aku pun tak dapat lagi bicara. Omongan selanjutnya tak lagi masuk di kepalaku. Entah perasaan apa yang kurasakan saat Te-chan mengucapkan itu. Tapi dari ucapan itu, aku jadi tahu seberapa dalam perasaannya padaku.

“Tuh, kan! Dia ngomong kayak gitu karena dia stress, sudah enggak bisa mikir,” kata Mia. “Terkadang, orang yang sudah enggak bisa berpikir lagi bisa mengucapkan kata-kata yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Ya kayak yang dibilang Te-chan itu. Kamu sih, makanya, sudah deh, sekarang sabar aja dulu.”

“Tapi Mi, aku kan hanya memintanya untuk datang. Sebentaar saja.”

“Dina sayang, dari Jepang kemari itu enggak gampang, tahu! Apalagi dia itu artis.”

“Tapi Mi....”

“Udah! Enggak pake tapi! Pokoknya kamu harus sabar.”

Waktu berlalu. Dan aku masih berkutat dengan kerinduanku pada Te-chan. Bintang itu, ia ingin meraihnya. Aku pun, juga ingin merengkuh bintangku, Te-chan.

Sebuah kabar mengejutkan, Te-chan ingin menemuiku. Ia akan datang ke Jogja.

“Aldina-dono, masih ingat dengan kalung yang aku berikan?”

“Ya.”

“Kau tahu apa maksudku memberimu kalung itu?”

Monday, July 2, 2007

Setelah Katrina lewat.....

Ketika itu kuanggap sang badai telah selesai lewat. Dan tampaknya memang sepertinya begitu. Namun kini, kulihat di depan pelayaranku mendung tebal menggantung. Adakah ia badai yang lain? La Nina kah? Atau Usagi yang lain?
Kutanyakan pada Sang Cahaya, kutanyakan pada laut. Yang terdengar hembusan angin yang kuat dan semilir kata : kau akan melihatnya segera dan itu akan membuatmu kuat. Hanya, apakah kau akan bertahan terus melaju atau kau akan mengambil jalan yang lain.
Ia memang begitu indah. Dan karenanya ia disebut badai. Karena ia mampu mengobrak-abrik dada hingga sedemikian rupa.
Setelah Katrina, lalu.....

Sunday, May 27, 2007

berikan aku jawaban

Katakan padaku, cinta kepada siapakah yang tertinggi? Cinta kepada siapakah yang paling utama? Bisakah kita mencintai sesorang demi cinta lain yang lebih tinggi dan mulia?

Tuhan, leraikanlah dunia

Yang mendiam di dalam hatiku

Karena disitu tidak kumampu

Menghimpun dua cinta

Ataukah ini lebih merupakan pertanyaan tak terucapkan atas cinta pada diri sendiri yang begitu dalam?

Apakah kegagalan hubungan dengan orang lain karena tak bisa mencintai? Ataukah karena ketidakmampuan membina hubungan lebih jauh? Atau karena ketakutan yang tak terjelaskan? Padahal telah yakin tertambat cintanya.

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu

Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu

Karena langkah merapuh tanpa dirimu

Karena hati ‘tlah letih

Tanpa dirimu aku merasa hilang dan sepi

Kemana aku berjalan? Akankah seperti awan yang terbang kemana angin bertiup? Atau seperti air yang pasti mengalir dari hulu ke hilir? Atau akankah seperti batu yang tak bergerak kemanapun?

Manusia tak sendiri. Dan ia tak mampu sendirian

Peganglah tanganku dan berjalanlah di sisiku

Kepadamu aku ‘kan seperti batu

KepadaNya aku ‘kan seperti gunung

Dan membuat diriku

Tenggelamkan aku dalam malam

Tangiskan aku dalam tingkah

Tuesday, April 3, 2007

TRIANGLE

“Hontou?”

“Iya. Masa kamu nggak percaya sama aku, sih?”

“Percaya sih. Tapi, masa iya, dia begitu?”

Ah, dua gadis itu sepertinya tidak juga berhenti ngerumpi. Aku bahkan tidak mengerti apa yang bisa membuat mereka betah berlama-lama seperti itu.

“Hey! Ngapain bengong aja? Kesambet baru tahu rasa lo.”

“Aah, ngagetin orang aja.” Melihat aku kaget, dua gadis itu pun tertawa. Tampaknya mereka tahu kalau aku memperhatikan mereka, tapi mereka cuek.

Sambil melihat dua gadis itu, VJ bilang, “Ooh, lagi liatin mereka toh. Pantas dari tadi kulihat kok kayak patung taman. Mau kenalan? Kukenalkan ya?”

“Sok tahu kamu. Tahu darimana aku ingin? Udah ah. Yuk, jalan.”

Dua hari kemudian aku bertemu dengan gadis berambut panjang tempo hari di tempat aku biasa nongkrong. Dan ia mengenaliku. Ia hanya tersenyum membalas ketika berpapasan denganku. Hingga kemudian kami selalu bertemu di tempat yang sama.

Aku penasaran. Akhirnya kutanyakan pada VJ nama gadis itu. VJ hanya tertawa, ia sudah tahu aku akan menanyakannya.

“Kenapa nggak kemarin aja waktu kita janjian? Malu?”

“Iya, lah. Masa tiba-tiba datang terus bilang ‘Hai, kita kenalan yuk?’, ‘kan nggak lucu.”

“Lha, yang namanya mau kenalan ya seperti itu.”

“Ya udahlah, mau kasih tahu nggak, nih?”

“Iya-iya. Memangnya mau tahu yang mana sih? Yang rambut panjang atau yang pendek?”

“Emang kamu kenal dua-duanya?”

“Iya.”

“Kenapa nggak bilang dari kemarin! Kamu tuh, jadi teman mbok ya tahu keadaan. Yang
panjang.”

“Eh, aku ‘kan udah bilang kemarin. Kamunya aja yang nggak nanggepin. Salah siapa coba? Hiroyuki Satoshi, yang pendek, Lee Jyung-il. Heh, kamu suka Yuki ya?”

“Sok tahu. Tahu dari mana?”

“Orangnya sendiri yang bilang. Dia bilang, kamu perhatiin dia terus. Aku bilang ke dia kalau kamu suka dia.”

“Terus dia bilang apa?”

“Dia cuma ketawa.”

Ah, Yuki. Keturunan Jepang-Indonesia, lahir di Osaka, Jepang. Ia besar di Indonesia. Ayahnya, yang asli Surabaya, seorang insinyur elektronika lulusan universitas di Jepang. Sedang ibunya orang Jepang asli. Mereka menikah di Jepang kemudian pindah ke Jakarta setelah Yuki lahir. Karena itu ia fasih Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang.

Jyung-il. Asli Korea besar di Jepang. Sekarang ia sedang belajar Bahasa Indonesia agar bisa kuliah disini. Aku heran, apanya yang menarik disini hingga ia mau kuliah disini? VJ bilang sih, ia ingin suasana yang lain. Gadis cantik itu juga bilang ingin mengambil jurusan Biologi. Selain itu, ia juga tertarik dengan Indonesia. Katanya, Indonesia itu indah. Sayangnya nggak semua orang sadar kalau Indonesia itu indah. Entah apa maksudnya. Aku jadi terkesan dengan gadis ini. Hanya itu saja yang kutahu. Dan semuanya aku ketahui dari VJ. Huh, ternyata VJ sudah lama kenal dengan mereka. Teman perempuanku itu, ya....

Ada satu hal yang mungkin bisa menyatukan mereka berdua, juga VJ; kultur budaya Jepang yang mereka punyai. VJ sendiri, kakak ipar dan pamannya adalah orang Jepang tulen. Aku? Cuma penggemar film animasi buatan Jepang.

Kampus, jam satu siang. Aku berjalan menyusuri jalanan kampus. Siang ini aku harus segera menyelesaikan makalah yang harus dikumpulkan lusa. Sebenarnya aku ingin meminjam komputer VJ, tapi entah kenapa dia tidak kulihat sejak pagi.

Tiba-tiba kudengar dari belakang sebuah mobil datang dan....

CIIITT!!!

“Aduh!” aku terjatuh.

Seorang perempuan keluar dan menghampiriku, “Aduh, maaf, saya tidak sengaja. Saya mohon maaf,” katanya terbata sambil membungkukkan badan.

“Kalau belajar nyetir jangan disini dong. Kenapa nggak cari tempat yang lebih aman?” kataku spontan. Tetapi begitu aku melihat perempuan itu aku tertegun. Eh, sepertinya aku kenal perempuan ini. “Hey, kamu Jyung-il ya? AnnyĆ³ng hasshimnikka?”

“Iya. Apa saya kenal Anda?”

“Saya temannya VJ, Dhani. Masak udah lupa?”

“Temannya VJ? Sebentar ya.” Ia segera ke mobil, sepertinya memanggil seseorang.
VJ?! Eerrrgghh, tidak sopan. Ternyata ia ngumpet di dalam mobil.

“Ayo. Pokoknya kamu juga harus ikut bertanggung jawab. Kamu ‘kan temannya. Ayo minta maaf. Mari, saya obati.” kata Yuki yang ternyata juga ikut bersama mereka.

Setelah selesai mengobati lengan dan selesai mengomeli VJ, kami berempat pergi ke mall. Mereka bilang mau mengganti bajuku yang robek. Nggak jadi ngerjain makalah deh.

Dua minggu setelah kejadian itu VJ datang ke rumahku. Aku masih sebal dengan ulahnya yang menabrakku dari belakang.

“Dhan, jangan marah ya sama kejadian tempo hari itu. Aku bener-bener minta maaf. Aku akan lakukan apa aja deh, asal kamu maafin aku.” kata VJ memelas.

“Bener nih? Hati-hati sama omongan sendiri loh.”

“Bener, suer.”

“Nggak usah pakai sumpah segala, deh. Oke, aku percaya. Tapi masa kamu nggak punya perasaan gitu sih. Aku ditabrak dari belakang.”

“Maaf, aku nggak sengaja. Yuki minta supaya mobilnya di deketin ke kamu. Biar dia bisa lihat kamu dari dekat, ‘kan dia penasaran. Nggak tahunya Jyung-il panik lihat kucing lewat.”

“He? Masa seperti itu sih? Kucing? Nggak percaya.” Kataku dengan nada tidak percaya.

“Yaa. Kok gitu sih? Aku ganti ya?”

“Apa?” tanyaku menyelidik.

“Ini,” katanya sambil menyodorkan tiket perjalanan. Ke Jepang dan Korea selama seminggu!

“Apa nih? Sogokan ya? Nggak mau!” kataku jual mahal. Huh, enak saja. Lenganku masih sakit, tahu!

“Yuki sama Jyung-il ikut loh. Yakin ditolak?” katanya sambil melirik. “Jalan-jalan gratis, nginep di rumahnya Yuki yang ade’nya cantik-cantik. Terus nginep di rumahnya Jyung-il yang di pedesaan. Ada kudanya loh. Kamu ‘kan suka kuda. Bener nih ditolak? Ya sudah, kukembalikan saja. Hmm, pasti mereka kecewa berat nih. Padahal, ini ‘kan mereka yang minta.” katanya lagi dengan nada usil.

“Ah, masa’?” kataku sambil berbinar. Yang benar ini dari mereka?

“Nggak percaya? Yukiii!”

“Heh, jangan teriak-teriak. Lagi juga, emang orangnya ada, apa?”

Tiba-tiba saja Yuki keluar dari mobil VJ dan berjalan ke arah kami. Waah, cantiknya....

“Please, ikut ya? Onegai ne?” kata Yuki memelas dengan menempelkan kedua tangannya seperti orang Sunda. “Ini untuk membayar kejadian kemarin.”

“Waduh, gimana ya?” aku bingung, dan menggaruk kepalaku yang nggak gatal.

“Udah, nggak usah jual mahal. Ikut aja, mumpung gratis. Kita bertiga yang nanggung.”

“Bukan begitu. Masalahnya, aku belum punya paspor.”

“Ini maksudnya?” kata VJ sambil menunjukkan paspor atas namaku. “Beres ‘kan? Apa lagi?”
Apa?! Sial, dia sudah mempersiapkannya. Aku harus cari alasan lain nih. “Nyokap,” kataku asal.

“Ibu nggak apa-apa kok. Kalau kamu mau pergi, pergi saja.” kata ibuku yang keluar sambil membawa minuman.

Aduh, Ibu, gagal deh. Aku melirik VJ. Aku kehabisan akal. Apa-apaan ini, aku jadi nggak bisa mengelak untuk nggak pergi.

“Jadi, kamu nggak punya alasan untuk nggak ikut. Pokoknya kamu harus ikut. Titik. Hehe....”
Huuuh....

Tanpa terasa, tahu-tahu aku sudah berada di pesawat. Aduh, gimana ini, aku kan nggak bisa bahasa Jepang. Dan lagi, aku nggak punya persiapan untuk pergi. Jujur saja, ini pertama kalinya aku ke luar negeri. Bahasa asing yang kukuasai hanya bahasa inggris dan itu pun nya’nyo’-nya’nyo. Tahu lah, aku paling malas kalau disuruh belajar bahasa inggris. Ah, bagaimana nanti saja. Nikmati saja perjalanannya.

Selama tiga hari kami berada di rumah nenek Yuki. Aku dikenalkan kepada seluruh anggota keluarga. Hiks, aku nggak ngerti apa yang mereka omongin. Aku hanya plonga-plongo aja waktu mereka bicara. Sewaktu VJ tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Entah, untuk apa. Pokoknya ikuti saja. Untungnya, mereka semua bisa bahasa inggris. Jadinya aku nggak bener-bener jadi bego. Sebelnya, setelah perkenalan, VJ dan Jyung-il menghilang. Kemana sih mereka? Maksudnya apa coba, baru setengah hari disini sudah menghilang. Nggak bilang lagi mau pergi kemana. It’s not fun, tahu!

Yuki benar-benar jadi tuan rumah yang baik. Ia mengajakku pergi ke Tokyo. Menunjukkan kawasan Ginza, kemudian pergi ke Hiroshima melihat monumen perang. Kami hanya pergi berdua. Aku bingung kemana perginya dua orang itu. Sebal! Kan nggak seru. Nggak bisa foto-foto. Masa’ liburan berempat, fotonya cuma berdua. Dua orang lagi? Entah.

Malam terakhir di rumah Yuki, kami berpamitan. Keluarganya benar-benar hangat. Aku baru sadar, dua orang itu baru nongol. Ketika kutanyakan kemana saja, mereka malah balik nanya, ngapain aja kami berduaan, nggak ngajak-ngajak.

Hari keempat kami sudah berada di rumah Jyung-il. Ia tinggal di pinggiran kota Seoul. Rumahnya persis seperti apa yang diceritakan oleh VJ. Begitu tiba, aku langsung tidur. Capek. Penerbangan Osaka – Seoul sekitar empat jam ditambah perjalanan dengan mobil selama dua jam.

Aku sempat menunggang kuda milik Jyung-il. Berkeliling peternakannya yang luas. Kudanya cantik. Berbeda dengan kuda yang biasa kuurus di ranch milik ayah VJ. Hanya satu yang membuat aku sebal. VJ nggak ada. Nggak ada teman buat di kata-katai. VJ kan nggak bisa naik kuda. Naik sepeda aja masih sering jatuh.

Selama di rumah Jyung-il semuanya pakai bahasa inggris, jadi aku nggak kebingungan mereka lagi ngomong apa. Hanya ketika saat-saat tertentu saja mereka nggak pakai bahasa inggris. Kupikir mereka cukup terbuka juga. Pun begitu, aku hanya bisa sedikit mengerti dari bahasa tubuh mereka.

Selama kami di rumah Jyung-il, kami hanya berputar-putar di peternakannya. Senang, tapi juga sedikit bosan. Nggak kemana-mana.

Tepat tiga hari di rumah Jyung-il kami semua pamit pulang. Akhirnya, Indonesia, aku datang....


Tiga hari sesudah perjalanan itu aku menelpon VJ. Janjian. Bosan, akhir pekan cuma di rumah, walaupun pada kenyataannya aku selalu sendirian di akhir pekan. Aku pengen jalan-jalan, tapi nggak ada teman. Sudah kebiasaan kalau aku bosan selalu mengajak VJ jalan. Walau cuma jalan-jalan nggak keruan, tapi yang penting nggak bosan.

Ada satu hal yang orang sering salah sangka tentang aku dan VJ. Mereka selalu menganggap kami berdua pacaran. Padahal, VJ temanku sejak SMP. Kami bersahabat baik. Sangat baik bahkan. Semua kartunya aku pegang, begitu juga dia. Aku tahu dia putus sambung dengan semua pacarnya. Dan dia tahu aku sering banget ditolak cewek. Dia selalu bilang: ‘kaciaan deh lo, bertepuk sebelah tangan’.

Mal, tempat janjian. Lho, kok ada Yuki?

“Hai. Lagi main ya?” sapaku.

“Nggak. Lagi nunggu orang. Nyariin VJ, ya? Katanya nanti nyusul.”

“Kok tahu?”

“Barusan aja dia nelpon. Katanya bakal telat sejam.”

“Sejam? Lama amat! Yuki lagi nunggu siapa? Cowok, ya?”

“Iya.” ia mengangguk.

“Wah, asyik dong berduaan?”

Ia hanya tersenyum. Aduuh, senyumnya itu lho, nggak nahan deh. Bikin patah hati.

“Nunggunya udah lama, yah?” tanyaku.

“Iya nih. Kayaknya dia nggak dateng deh. Dhan, jalan aja yuk?”

“Lha, cowokmu nanti gimana? Ntar kalo dia dateng gimana?”

“Udah, biarin aja. Jalan yuk. VJ kan masih lama.”

Ya sudah, ayuk deh. Aku berjalan mengiringi Yuki. Haha, asyik juga jalan-jalan sama orang cantik. Jadi perhatian. Tiba-tiba saja ia menggamit tanganku. Aku kaget sekaligus gugup. Yuki, berani sekali.

“Engh, Yuki, ntar kalau ketahuan sama cowok lo kan gawat?” kataku sambil mencoba melepaskan tanganku.

“Nggak bakal. Tenang aja. Paling juga ntar ada yang cemburu sama kamu. Percaya deh.”

Cemburu? Sama aku? Cowok yang selalu ditolak? Kayaknya nggak mungkin deh. Aku semakin nggak nyaman karena aku sempat dengar seorang cowok bilang ‘beruntung banget tuh cowok ya’. Gimana kalau cowoknya Yuki tiba-tiba saja datang? Aku bisa dapat bogemnya. Masuk klinik deh.

Yuki menarikku ke loket bioskop. Ia lalu menunjuk salah satu film yang akan diputar. “Beliin tiketnya, yah. Kita nonton yang itu.”

Aku hanya bisa bengong, tapi tetap saja tanpa sadar kubelikan tiket nonton. Bodohnya, aku hanya membeli satu.

“Kok beli cuma satu? Mau nonton sendirian?! Beli lagi!” katanya sambil cemberut. Dan sekali lagi aku hanya menurut. Kali ini, “Kok nggak sebelahan? Tukar! Emangnya kamu mau nonton sendirian?”

Aduuh malunya. Aku jadi perhatian banyak orang. Sampai nggak sempat menikmati pertunjukan filmnya karena sibuk melayani Yuki. Hiroyuki Satoshi, apa sih maumu?
Selesai nonton film, ia menarikku. “Lapar nih, makan yuk.” Kami mengelilingi mal hingga kakiku pegal.

“Aduuh, Dhan. Kamu lambat amat sih. Kayak kura-kura.”

“Yuki, kita mau makan dimana sih?”

“Nggak tahu nih. Kayaknya nggak ada yang enak. Kita keluar aja ya. Ah, aku tahu tempat yang enak.” Tahu tempatnya? Restoran Jepang tempat para eksekutif. Mak, mati aku. Bagaimana membayarnya?

“Tenang, nanti Yuki yang bayar,” katanya seperti mengetahui apa yang ada dalam pikiranku.
Mendengar itu, betapa leganya hatiku. Tapi itu hanya sebentar. Karena sesudah makan, Yuki nggak sadar kalau terlalu banyak minum sake. Ia mabuk berat. Aku sampai harus menggendongnya dan mengantarnya sampai rumah karena ia tidak bisa berdiri. Dan parahnya, ia muntah di bajuku. Ya Tuhan, help me please....

Esok harinya aku ketemu VJ.

“Kemana aja sih kamu kemarin?” todongku.

“Aduh sorry ya. Aku nggak bisa datang. Tiba-tiba aja perutku sakit. Gimana kemarin kencannya sama Yuki? Asyik nggak?”

“Oh, jadi kemarin yang ngatur itu kamu? Tahu nggak sih, kemarin tuh aku ketakutan kalau-kalau cowoknya Yuki datang. Kan bisa berantem. Mau, aku masuk klinik gara-gara dipukuli orang?”

“Maaf. Eh, terus, kemarin kalian ngapain aja?”

“Jalan-jalan, terus nonton, habis itu makan.”

“Hmm, bagus ya, nonton sama makan berduaan. Makan di mana?”

“KHO Tavern.”

“Apa?! Disana? Curang! Kamu nggak pernah ngajak aku kesana.”

“Heh, Yuki yang ngajakin kesana. Aku malah takut kalau-kalau nggak bisa bayar. Tahu sendiri ‘kan, aku nggak biasa bawa uang banyak. Untungnya sih, Yuki yang bayarin. Hehe....” VJ manyun. “Tapi, ada sebelnya juga.”

“Apa?”

“Gara-gara salah beli tiket nonton, Yuki ngomel-ngomel. Aku jadi diliatin orang. Malu ‘kan.”

“Hahaha.... Emang enak.”

Tiba-tiba saja ponsel VJ bunyi. Kulihat ia senyum-senyum sendiri. Kenapa nih anak?

“Siapa?” tanyaku selesai dia membaca SMS yang diterimanya.

“Yuki. Katanya dia minta dijemput sama kamu tuh. Nih, lihat,” katanya sambil memperlihatkan pesan Yuki.

‘ Dhan,jmpt gw d kmps skr jg! ajak VJ sklian. XD ’

“Kok kirimnya ke kamu?” tanyaku.

“Emang kamu punya ponsel? Payah.” tanyanya balik. “Makanya, beli. Hari gini masih nggak mau punya ponsel,” katanya lagi. Aku hanya mesem-mesem.

Sesampainya disana, sudah menunggu Jyung-il dan Yuki. Kami kemudian pergi ke tempat Yuki biasa nongkrong. Tempatnya? Bengkel kafe. Tempatnya kecil, tapi cukup bagus, kapan-kapan aku bisa memperbaiki mobilku disini. Tapi untuk bisa sampai kemari bisa-bisa ada bintang menari diatas kepala. Pusing!

“Kayaknya ini waktunya deh,” kata VJ.

Waktu? Waktu apa?

“Iya, sepertinya ini waktu yang tepat untuk bilang ke orang itu,” sahut Jyung-il pula.

“Hey, waktu apa sih?” tanyaku penasaran.

“Nggak tahu ya. Masa dia nggak merasa sih. Padahal 'kan jelas banget. Apa dia batu? Nggak berperasaan banget, deh,” kata Yuki.

“Kalian ngomong apa sih?” Aku kebingungan.

“Mau tahu aja urusan cewek,” kata VJ ketus.

“Ya sudah. Aku pulang aja, ya. Kayaknya aku nggak diperlukan sekarang.”

“Eee, tunggu-tunggu. Duduk dulu. Begitu aja udah ngambek. Sebenarnya, kita ini sedang ngomongin kamu.”

“Aku?” kataku sambil menunjuk hidung. Dan mereka mengangguk secara bersamaan.

“Sebenarnya, diantara kita bertiga ini ada yang suka sama kamu.”

Alamak! Mendengar itu, aku bagai disambar petir. Aku menampar pipiku. Ini pasti mimpi.

“Ini bukan mimpi. Dan kamu tidak akan kesepian lagi kalau akhir pekan.” kata Jyung-il.

“VJ, bilang ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi ‘kan?”

“Nggak, ini bukan mimpi kok, beneran.” Plak! Ia menamparku. “Sakit ‘kan? Artinya ini bukan mimpi. Percaya deh. Kamu masih ingat waktu kita pergi ke Osaka? Sebenarnya, kamu itu dikenalkan sebagai pacarnya Yuki.”

Apa? Aku hanya melongo. Pantas mereka senyum-senyum dan cekikikan sendiri sewaktu perkenalan di rumah nenek Yuki. Aku membanting tubuhku ke kursi hingga terjerembab ke belakang.

Gubrak!!

“Dhan, kamu nggak apa-apa kan?”

“Nggak. Aku nggak apa-apa.” Aku mencoba berdiri. “Dan perjalanan itu?”

“Itu Yuki yang minta. Katanya, minta waktu untuk bisa dekat sama kamu. Tapi kayaknya kamu sibuk sendiri. Dan sebenarnya, hari ini rencananya orang tuanya Yuki mau ketemu sama kamu.
Soalnya, orang tuanya nggak mau anaknya pacaran lama-lama,” jelas VJ.

“Sebentar, biar Yuki sendiri yang jelaskan,” kataku.

Yuki akhirnya menjelaskan semuanya. Ia sebenarnya akan dijodohkan orang tuanya bila tahun ini belum juga menunjukkan siapa pasangannya. Aduh, zaman seperti ini masih juga ada orang tua seperti itu. Ia memilihku atas rekomendasi dari VJ. Ia percaya padanya. Karena kakak ipar VJ adalah adik dari ibu Yuki.

Ah, VJ, kenapa kau menyerahkan aku padanya.

Take Hold of Every Moment

A friend of mine opened his wife's underwear drawer and picked up a silk paper wrapped package:
"This, - he said - isn't any ordinary package."

He unwrapped the box and stared at both the silk paper and the box.

"She got this the first time we went to New York, 8 or 9 years ago. She has never put it on. Was saving it for a special occasion.
Well, I guess this is it. He got near the bed and placed the gift box next to the other clothings he was taking to the funeral house, his wife had just died. He turned to me and said:
"Never save something for a special occasion. Every day in your life is a special occasion".

I still think those words changed my life.

Now I read more and clean less.
I sit on the porch without worrying about anything.
I spend more time with my family, and less at work.
I understood that life should be a source of experience to be lived up to, not survived through. I no longer keep anything. I use crystal glasses every day... I'll wear new clothes to go to the supermarket, if i feel like it.

I don't save my special perfume for special occasions, I use it whenever I want to. The words "Someday..." and "One Day..." are fading away from my dictionary. If it's worth seeing, listening or doing, I want to see, listen or do it now. I don't know what my friend's wife would have done if she knew she wouldn't be there the next morning, this nobody can tell. I think she might have called her relatives and closest friends.
She might call old friends to make peace over past quarrels. I'd like to think she would go out for Chinese, her favorite food. It's these small things that I would regret not doing, if I knew my time had come.
I would regret it, because I would no longer see the friends I would meet, letters... letters that i wanted to write:
"One of these days".

I would regret and feel sad, because I didn't say to my brothers and sons, not times enough at least, how much I love them.

Now, I try not to delay, postpone or keep anything that could bring laughter and joy into our lives. And, on each morning, I say to myself that this could be a special day. Each day, each hour, each minute, is special. If you got this, it's because someone cares for you and because, probably, there's someone you care about.

If you're too busy to send this out to other people and you say to yourself that you will send it "One of these days", remember that "One day" is far away..... or might never come...


Sebuah surat elektronik yang datang kepadaku beberapa waktu lalu. E-mail itu datang bagai sebuah pukulan telak yang menghantamku.
Benar. Aku memang mempunyai sebuah bungkusan yang kusiapkan untuk sebuah kesempatan khusus. Yang akan kuberikan kepada seseorang yang khusus pula. Aku menunggu saat itu datang. Saat dimana aku bisa memberikan sesuatu yang sangat kusuka dan kusimpan sejak lama. Hingga....
Saat itu tiba. Ketika kutemukan seseorang yang khusus itu datang. Mengisi relung hati. Menjadi teman dalam kesedihan dan kegembiraan.
Kami bergembira. Menghabiskan waktu bersama. Merangkai pikiran dan masa depan yang sedianya akan kami lalui bersama. Hingga....
Berita itu datang. Ombak besar menenggelamkan kapal yang ditumpanginya.
Tapi, sejatinya, ombak besar yang menghantam kapal itu menenggelamkan masa depan semua penumpang dalam kapal. Termasuk diriku.
Bungkusan itu. Untuk saat yang istimewa. Aku menunggu saat yang istimewa itu. Ketika aku mengatakan padanya bahwa dialah yang kusayang. Ketika aku ingin memintanya menemaniku seterusnya. Sayangnya, saat yang kutunggu itu tak kunjung datang. Ombak besar mendahului kedatangannya. Dan yang sampai padaku adalah berita tentang tenggelamnya kapal yang ditumpangi dan membawanya serta ke dalam laut.
Dan, surat elektronik itu datang. Mengingatkanku akan setiap saat yang kulalui bersamanya. Ketika kurenungkan, maka setiap kali bersamanya adalah saat yang istimewa. Saat kami tertawa bersama, adalah saat yang indah. Saat kami berselisih, adalah saat yang indah. Karena dalam keadaan itulah aku belajar, bahwa manusia itu berbeda. Walaupun kami punya kesamaan, kami juga punya perbedaan.
Ya. Seharusnya kita menjadikan setiap saat dalam hidup kita adalah saat yang istimewa.

Saturday, January 27, 2007

Siapa yang Tahu

Fiuh..., hari ini panas sekali. Mungkin sebaiknya aku pergi ke taman untuk berteduh. Bisa sekalian istirahat. Tapi sebentar, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di koridor. Ada apa ya? Ah, sebaiknya kulihat dulu.

“Ada apa, sih? Kok rame banget?”

“Biasa. Itu, si Biang Kerok bikin ulah lagi.”

“Sekarang apa dia yang buat?”

Berantem sama Riki. Gara-gara Vega nggak mau jadi pacarnya.”

“Vega?”

“Iya, Vega.”

“Terus?”

“Nah, Vega ‘kan minta tolong Riki untuk njelasin ke anak itu. Eh, nggak tahunya dia nggak terima. Katanya Riki merebut pacarnya. Nah, Riki jelas nggak terima. Kecuali dia, hampir semua orang tahu kalau si Riki itu sepupu Vega. Konyol banget nggak sih tuh anak. Sebel deh. Mentang-mentang jagoan kampus, apa yang dia mau harus dapat.”

Hehe....lagi-lagi rebutan perempuan. Dan, lagi-lagi Vega yang jadi rebutan. Aku heran, apa sih yang diperebutkan? Aku lihat Vega gadis yang biasa saja. Parasnya tidak terlalu cantik bila dibandingkan dengan artis Dian Sastro atau bahkan Ida Iasha (masih ingat?). Sudah mahasiswa, kok masih saja seperti anak kecil.

Hmm, Vega. Yang kuingat dari gadis itu adalah sejak SMA dulu Riki sering berkelahi dengan para cowok-cowok yang rebutan untuk jadi pacarnya Vega. Vega-nya sendiri emoh dengan mereka. Sejak Vega tinggal dengan Riki, sahabatku, ketika itu Vega kelas satu SMP, jadi sering berkelahi karena membela Vega yang merasa diteror. Vega yang bersepupu dengan Riki dari pihak ibu itu dua tahun lebih muda dengannya. Karena itu Riki sangat melindunginya karena sudah dianggap seperti adik sendiri.

Kami memang satu SMP, satu SMA dan satu universitas. Hanya berbeda fakultas dan jurusan. Aku di Geografi dan Riki di Fisika, kami di Fakultas MIPA sedangkan Vega di Fakultas Sastra jurusan Bahasa Perancis. Hehe, tadinya Vega ingin bersama Riki, tapi karena dia gagal jadi dia memilih jurusan itu. Dan sejak itu dia mulai sering berganti pacar. Cepat bosan katanya. Entahlah.

“Remi, tunggu!”

“Ada apa Rik? Buru-buru banget. Eh, lo nggak apa-apa ‘kan habis berkelahi tadi?”

“Nggak, nggak apa-apa kok. Eh, Vega tadi nyariin lo.

“Ada apa? Kok tumben nyariin?. ‘Kan sudah ada kau, buat apa dia cari aku lagi?”

“Mana aku tahu. Yang jelas dia sedari tadi mencarimu. Entah, ada perlu apa. Cepat cari sana. Aku takut dia marah lagi. Dia kangen tuh sama kamu.”

“Apa sih? Baiklah, dia ada dimana?”

“Di kantin. Cepat sana pergi.”

Segera aku pergi ke kantin untuk mencarinya. Tapi, dimana dia? Ah, itu dia yang sedang melambaikan tangannya. “Ada apa mencariku?”

“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cuma ingin ketemu kamu aja. Emang nggak boleh? Eh, Remi, bisa nggak aku minta tolong?”

Ngapain?” tanyaku.

“Bisa nggak kamu kalau datang ke rumah pakai baju yang agak rapi sedikit?”

“Kenapa? Aku ‘kan sudah biasa seperti ini, toh kalau ke rumah Riki juga seperti ini. Selama ini nggak ada yang protes. Kok baru sekarang protesnya?”

“Iya, Tante perhatiin kamu. Dia bilang, kok kamu sekarang kelihatan tambah belel. Cakepnya ilang.

“Kok Riki nggak bilang, ya? Kapan Tante ngomongnya?”

“Nggak tahu tuh. Ya, sekitar semingguan ini lah.”

“Ah, nggak percaya. Jangan-jangan kamu bohong?” tanyaku menyelidik.

Enggak! Suer deh. Lagian, ngapain juga aku bohong ke kamu. Apa untungnya coba? Ya sudahlah kalau kamu nggak percaya. Yang penting aku sudah bilang, tugasku selesai.”

“Hehe... marah. Hey, jangan ngambek gitu dong.

“Siapa yang ngambek! Dibilangin malah nuduh orang. U-uh.”

“Lho kok jadi marah?”

“Siapa yang marah. Huh, dasar!” katanya sambil membuang muka dan meninggalkanku yang ‘terpesona’ dengan kemarahannya.

Lah, sudah jelas kau yang marah, pakai mengelak segala. Hehehe..., ada-ada saja kau Vega.

Malamnya ketika aku datang ke rumah Riki untuk mengambil salah satu catatan kuliahku yang dipinjamnya kulihat Vega sedang bersama dengan teman-temannya seperti biasa. Tertawa cekikikan dan bercanda yang sampai membuatku geleng kepala karena suara mereka terdengar hingga di kamar Riki yang berada di lantai dua.

“Kenapa? Berisik ya? Biarin aja. Mereka memang seperti itu kalau sudah akhir pekan. Kerjaannya memang cuma ngerumpi. Aku sendiri juga heran, apa mereka tidak punya pekerjaan yang lain.”

“Eh, Rik, Vega sudah punya pacar belum?”

“Heh? Tumben nanyain. Memangnya kenapa? Setahuku sih dia belum punya pacar lagi. Naksir?” tanyanya dengan semangat.

“Memangnya boleh?” tanyaku penasaran.

“Boleh-boleh saja. Itu menurutku, tapi bukan aku yang memutuskan lho, Vega sendiri. Tapi menurutku sebaiknya jangan. Karena kupikir dia belum bisa pacaran lagi. Kau tahu kasusnya dengan Baron kemarin ‘kan? Selain itu juga karena dua minggu kemarin dia putus dengan Sai. Tiga hari dia menangis. Kamu juga lihat. Pokoknya, jangan dulu lah.” Katanya menggodaku.

“Iya, hampir lupa. Tadi siang Vega minta aku supaya kalau datang kemari lagi pakai baju yang rapi karena ibumu tidak suka aku pakai pakaian seenaknya. Benar?”

“Hah? Kok aku nggak tahu kalau mama bilang begitu? Hmm? Pantas, tumben kau kelihatan rapi. Sebentar ya.”

“Mau kemana?”

“Turun. Ambil minum sama makanan.”

“Yang banyak ya.”

“Dasar kemaruk.

Ah, aku jadi teringat kalau nanti akan pulang sedikit larut, jadi aku harus segera menelepon orang rumah agar tidak khawatir. “Rik, aku pinjam teleponnya sebentar ya?”

“Jangan lama-lama.”

Ketika kuangkat gagang telepon kudengar suara Vega sedang bicara dengan seseorang di telepon. Tidak sengaja kudengar. Aku lupa, telepon rumah Riki ‘kan di paralel. Satu di ruang tengah di bawah dan satu lagi di lantai dua depan kamar Riki.

Beneran kok. Dia ada disini.”

“Terus, gimana doinya?”

“Wuih, rapi banget. Rani aja sampai nggak percaya, tumben, katanya. Padahal gue cuma iseng aja bilang gitu sama dia. Kalo lo nggak percaya, kemari aja.”

“Gue denger katanya lo marah sama doi?”

“Nggak, lagi. Itu cuma bohongan, namanya juga akting, eh, ternyata dia nanggepinnya beneran. Beruntung deh gue.

“Aduh, yang lagi naksir berat. Emang sejak kapan sih lo naksir doi? Kok sampai segitunya.

“Sebenarnya sih gue naksir doi udah dari SMA. Cuma dia-nya aja yang nggak merasa. Heran deh, cuek banget gitu. Makanya itu gue bingung, sudah lebih dari selusin cowok yang gue bawa kemari, eh dia-nya cuma melengos aja. Cool. Sebel nggak sih. Apa gue tembak aja kali ya?”

Idih! Emang nggak ada cowok lain apa?”

“Habisnya....”

Lo udah minta tolong Riki belum?”

”Riki lagi. Dia ngetawain gue tahu. Dia bilang, anak itu nggak doyan pacaran.”

“Makanan kali, doyan. Terus?”

Ceweknya yang dulu aja, nangis nggak mau diputusin, eh, dia-nya cuek aja. Diam bagaikan karang. Lagian, masa’ gue dibilang masih kecil, nggak boleh, katanya.”

Duh, kacian deh lo.

“Ups.”

“Kenapa?”

“Eh, udah ya, Riki ngeliatin gue terus nih. Dagh.”

Cklek.

Tuesday, January 9, 2007

epilog januari

bored. few attemp to accomplish some project failed. well, the lack of spirit to find a new way and self motivated is gone.
even worse, get convenience like the frog in its bunker. goin' nowhere.
2007 solution, its going to be fading.
drowning.........

Saturday, January 6, 2007

hari ini ada temen yang minta diajarin nge-net (haree gini masih minta diajarin?????????????)
yah, gitu deh.......
tapi seneng juga, wong dah lama ga ketemu ma dia.....eh, pas ketemu curhat. whahahaha........
jadi kangen nih, ma temen-temen yang laen.....kapan yak, bisa ketemu mereka lagi (di acara reunian, bukan nikahan!!!)
VW aje deh, biar PW