Monday, August 6, 2012

"Mewaspadai Sikap terhadap Amal dan Pahala" oleh Moh. Fauzil Adhim (@kupinang)


Selama angan dan pendapatmu masih dalam benak, maka engkaulah yang memeganginya. Tapi sekali engkau lepaskan kalimatmu, maka ia dapat berlarian kemana saja di luar kendalimu dan terus-menerus mempengaruhi manusia hingga beratus tahun sesudah kematianmu. Maka perhatikanlah ucapanmu, adakah ia menegakkan kebenaran atau justru merendahkannya. Sebab tiap-tiap kata ada tanggung-jawabnya. Sungguh, ada ucapan yang terlepas ringan, tapi besar akibatnya. Kita tak menganggapnya sebagai kemungkaran, tapi ia menghanguskan kebaikan kita.

Ingatlah sabda Nabi saw., "مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ"  “Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yg ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” HR. Bukhari.

Maka atas setiap bertambahnya followernya, janganlah engkau menepuk dada karena boleh jadi ia akan memberatkan hisabmu di Yaumil-Qiyamah. Amat jauh kita dari ilmu. Amat jauh pula rentang waktu kehidupan kita dengan generasi yang Allah Ta'ala ridhai mereka.

Generasi shahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in senantiasa merasa mengkhawatiri imannya, khawatir pula kalau tak ada amal yang diterima. Maka mereka tak berani bersombong di hadapan Allah Ta'ala dg mengandalkan amal-amalnya. Mereka amat berhati-hati agar amalnya tak rusak.

Betapa amat berbedanya dengan kita yang hidup sekarang ini. Amat malu rasanya ketika ada yang bertanya, bukankah kita bisa meminta sebagian pahala amal kita di dunia, dan sebagiannya untuk akhirat. Astaghfirullah, seakan amal mereka pasti diterima. Seakan amal mereka sudah terlalu banyak. Seakan Allah Ta'ala seperti sebagian birokrat kita: tak mau memberi kecuali jika kita sudah memberi. Astaghfirullah.... Alangkah buruk persangkaan kita kpd Allah 'Azza wa Jalla. Dan alangkah sombongnya kita sehingga mereka diri terlalu mulia. Kita merasa berhak mndapatkan apa yg kita minta krn merasa telah beramal. Bukan berharap dengan sungguh-sungguh karena yakin Allah Maha Pemurah.

Betapa amat berbedanya kita dengan 'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu 'anhu. Ia tak jadi menikmati hidangan berbuka puasa nafilah karena terkenang Mush'ab bin 'Umair radhiyallahu 'anhu. Amat besar rasa khawatirnya kalau tak ada bagiannya di akhirat.

Sementara hari ini banyak kaum muslimin yang merasa amalnya telah berlebihan sehingga meminta pahala sebagian di dunia. Seakan Allah tak lagi melimpahinya rezeki. Dan sungguh, persangkaan yang buruk kepada Allah Ta'ala semacam ini menyebar karena kata-kata yang keluar tanpa menghitung akibatnya. Renungi sejenak sabda Nabi saw., ...إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِ “Sesungguhnya seorang yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka أَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ "yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” HR. Bukhari & Muslim.

No comments:

Post a Comment