Thursday, October 22, 2009

Jakarta's Effect : Permissive

Persaingan, tekanan dan kepenatan hidup, tuntutan untuk selamat dan menikmati hidup membuat orang berbeda dalam menyikapi hal dan mencapai tujuan. Sebagian memilih untuk melakukan semuanya dan semaunya, sementara sebagian yang lain melakukannya sesuai norma.


Perkembangan wilayah yang semakin ramai dan perpindahan penduduk, memberikan alternatif pilihan hidup. Tidak adanya kontrol dan semakin menguatnya konsep self control semu membuat orang semakin tidak peduli. Maka ungkapan "Yang penting saya tidak melakukannya" atau "Kembali pada diri masing-masing" semakin mempertegas keegoisan pelarian diri dan ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar. Juga sebagai pembenaran atas sikap "tidak ingin diganggu, maka jangan pula mengganggu". Mind your own business.


Dengan lingkungan yang seperti ini, maka diperolehlah kebebasan dengan mengandalkan jargon [yang terlihat] modernisme. Padahal, apa yang terlihat sebenarnya justru menunjukkan kekampungan sikap. Menjadi sok kota karena telah hidup di kota metropolis dan secara tidak sadar menjadi korban. Yang sebenarnya ini mencerminkan efek konsep "jahat" : Kapitalisme, dimana semua bisa dibeli, diatur dan dijual tanpa peduli norma.


Kehidupan kota yang begitu bebas, menjadikan mereka yang "tak berprinsip" menjadi korban. dan justru yang "berprinsip" yang menjadi terlihat aneh. Sebagai contoh, kebebasan tanpa kontrol dalam penasaran atas kebutuhan biologis berpasangan menjadikan sebagian malah menganut paham bebas: dengan siapa saja, dimana saja, apa saja, bahkan, kapan saja. Maka tak heran muncul istilah bi-sex, homosex dan heterosex, juga istilah lainnya. Tingkah yang sedemikian makin lama mendekatkan manusia pada hewan, karena memuja nafsunya dan melupakan akal norma (yang menjadikannya manusia). Memuja keegoisan dalam tingkat tinggi juga sama saja karena hewan hanya mementingkan dirinya.


Kalau begitu ingin menunjukkan keindahan lekuk tubuh, maka kenapa tidak sekalian saja tak sehelai benang menempel? Tanpa perlu mengenakan kain yang hemat dipotong.


Mencari penghidupan di kota besar juga tak terlepas dari paham bebas ini karna semakin besarnya tekanan hidup. Apapun akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar: mengisi perut. Lantas, berlanjut ke tingkatan berikutnya dan berikutnya. Hingga, sesuatu yang hampir tak masuk akal terjadi: Hilangnya sebuah kapal pesiar dari daftar aset perusahaan. Maka tak heran bila seorang teman berkata, "wuih, gede bener perutnya, sampai kapal pesiar aja masuk."


Efek dari kebebasan tak berkira ini secara langsung dan tidak perlahan menghancurkan perikehidupan yang baik. Padahal, inilah yang sebenarnya dicari sejak awal dan dijadikan tujuan. Menjadi lebih baik, secara materi, sosial, dan jiwa. Tetapi utamanya, menjadi lebih baik secara jiwa, akan memberikan diri imbalan tak terkira.

No comments:

Post a Comment