Dalam ber-Islam saat ini kita mengenal beberapa Mazhab. Salah satunya yang dianut di Indonesia adalah Mazhab Syafi'i. Tetapi, sudahkah kita mengenal beliau dan terlebih Hadist Rasulullah SAW melalui beliau? Sudahkah kita belajar Islam dengan baik? Saya sendiri jujur saja tidak mengenal karya-karya beliau, karenanya saya juga belajar. Mungkin ada baiknya kita menyimak sedikit penyampaian Ustad Moh. Fauzil Adhim (@kupinang) mengenai Imam Syafi'i berikut ini:
Membaca manaqib (biografi) Imam Syafi'i yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, semakin terasa betapa jauhnya sosok itu. Bertanya-tanya, masih adakah orang yang benar-benar bercermin kepadanya? Kelurusan 'aqidahnya, kehati-hatiannya dan kecintaannya kepada syari'at.
Semakin mempelajari manaqib (biografi) Imam Syafi'i, terasa semakin asing sikap, pendapat, teladan dan kezuhudannya di negeri ini. Andaikata pendapat-pendapatnya diungkapkan, adakah muslimin di negeri ini mnghormatinya? Padahal negeri ini mayoritas mengaku Syafi'iyah. Teringat saat pulang kampung dan bertanyalah saya kepada seorang sahabat yang menyatakan dirinya 100% Syafi'iyah tulen, "Kapan terakhir nama Imam Syaf'i disebut saat berpendapat?" Sahabat ini kaget. "Apakah Ente akrab dengan pendapat & manhajnya?" Termangu lagi.
Bagaimana mungkin seseorang menganggap dirinya Syafi'iyah sedangkan terhadap yang berjilbab besar, ia merasa risih dan mencurigainya? Bagaimana mungkin seorang yang merasa dirinya Syafi'iyah dapat membiarkan istrinya tidak menutup aurat dengan sempurna? Sangat bertentangan. Bagaimana mungkin seseorang merasa dirinya mengikuti pendapat Imam Syafi'i sementara kuburan ditembok tinggi dan menjadi bangunan? Kubur Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy'ari adalah contoh yang sesuai. Tidak ditembok, tidak dibangun. Nyaris rata dengan tanah. Saya tidak tahu sekarang.
Bagaimana mungkin seseorang merasa dirinya Syafi'iyah jika ia meninggalkan jama'ah ketika imam Subuh tidak qunut? Padahal, tatkala Imam Syafi'i mengimami shalat di masjid yang tak jauh dari makam Imam Abu Hanifah, beliau meninggalkan qunut untuk hormati Imam Abu Hanifah. Uff! Maafkan saya, pembicaraan melebar dari manaqib (biografi) kepada pendapat Imam Syafi'i. Semoga kita dapat bercermin darinya.
Sikap Imam Syafi'i sangat menarik, mengingat Imam Abu Hanifah wafat bertepatan dengan saat kelahiran Imam Syafi'i. Jadi, keduanya tak pernah bertemu. Perbincangan ini bukanlah soal pemihakan terhadap madzhab, tetapi terutama terkait dengan konsistensi bersikap dan berkeyakinan.
Bahwa tidak pantas seseorang mengaku pengikut Imam Syafi'i, sementara sikap dan perilakunya justru sangat bertentangan dan bahkan bersikap sinis terhadap mereka yang melaksanakan qaul (pendapat) Imam Syafi'i sebagai usaha untuk berislam dengan lebih baik.
Sama anehnya dengan seorang muslim yang dengan mantap berkata bahwa ia berpegang pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, tapi ia tak mengenal keduanya. Bagaimana kita akan hidup dengan Al-Qur'an jika bacaannya saja tidak kita kenali? Bagaimana kita akan berpegangan pada Al-Qur'an jika hati ini jauh darinya? Omong-omong, sudah baca Al-Qur'an hari ini?
Allah Ta'ala berfirman, "قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم" "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad SAW.), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." QS. 3 : 31.
Jalan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla adalah tunduk mengikuti tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Maka, sudahkah kita mengenalnya? Bagaimana mungkin kita akan mengikuti Nabi SAW. jika tak mengenal sunnahnya, tak mengenal tutur katanya. Maka, marilah sejenak kita bertanya, sudahkah kita membaca hadis Nabi SAW. hari ini? Dan apakah kita merenunginya?
Imam Syafi'i mengingatkan, “Setiap masalah yang di sana ada khabar shahih (hadist) dari Rasulullah (SAW), menurut para ahli (hadist), dan ia bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”
Ketika seseorang datang menemui Imam Syafi'i dan menanyakan tentang hadist Nabi SAW. serta pendapatnya tentang hadist tersebut, Imam Syafi'i berkata: “Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkn hadis Rasulullah SAW kemudian aku berpendapat lain…!?
Semoga bermanfaat.
Monday, September 3, 2012
Istikharah; niat, syariat dan tujuan
Mengutip dari kultwit Felixsiauw (@felixsiauw) mengenai istikharah. Semoga bermanfaat untuk yang membaca.
Rasulullah saw mengajari sahabatnya ber-istikharah
dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari Al-Qur'an. Sabda Nabi,
“Jika kalian ingin lakukan suatu urusan, shalatlah 2 rakaat selain shalat
fardhu, lalu hendaklah berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah
pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku
meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan
aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak
tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau
mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di
akhirat, maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan
berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut
jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku maka palingkanlah ia
(kejelekan) dariku, dan palingkanlah aku darinya (kejelekan), dan takdirkanlah
yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha
dengannya"-lalu dia menyebut keinginanya- hadits tersebut diriwayatkan
Bukhari, Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi dari Jabir bin Abdullah ra (pic doa) http://t.co/6BBK6Ob0
Dalil shalat istikharah adalah diatas, dan
disyariatkan doa ini dilakukan setelah salam dalam shalat yang bukan wajib. Tidak
ada ayat khusus yang harus dibaca ketika istikharah, ayat apapun boleh dibaca.
Niat istikharah boleh pula digabung dengan semua
shalat sunnah; rawatib, dhuha, tahajjud, tahiyat masjid dll. Misal, setelah
shalat sunnah dhuha, maka kita boleh berdoa istikharah sesudah salam.
"Teks hadits menunjukkan bahwa istikharah boleh
setelah shalat rawatib, tahiyat masjid, atau shalat sunnah lain" - Imam
An-Nawawi.
Jadi jelaslah bahwa istikharah adalah shalat ketika
kita sudah memutuskan satu urusan, lalu menguatkan diri dengannya atau satu
urusan yang sudah kita putuskan, lalu kita menginginkan agar memantapkan diri
dengannya, dengan berdoa pada Allah
"Jika
seseorang melakukan istikharah, maka lanjutkanlah apa yang menjadi keinginan
dirinya" - Imam An-Nawawi.
Nah, salah
kaprahnya kebanyakan kita, menganggap bahwa istikharah ibarat contekan sakti
ketika ada soal pilihan berganda. Akhirnya, saat ada pilihan apapun
di-istikharahkan, bahkan pilihan-pilihan yang sudah jelas-jelas salah juga
di-istikharahkan :)
"Aku
mau pacaran sama siapa ya? dia yang rambutnya cepak atau yang keriwil?
istikharah dulu ah" | ngawur.
"Aku
bingung nih, mau terima lamaran di bank A atau bank B ya? istikharah dulu
ah" | sama2 ngawur.
"Aku
lagi bimbang nih, besok mau shalat jumat atau nggak ya?" | paling ngawur
nih
"Aku
galau nih, mau putusin pacar nggak ya? kan udah lama pacaran? istikharah dulu
deh? | no comment -_-;a
Lebih parah
lagi | "aku udah istikharah, dan aku mimpiin dia, berarti Allah ridha dia
jadi pacarku!" | #hening -_-a
Parah juga |
"setelah aku istikharah, ternyata aku terbayang-bayang wajahnya, berarti
itulah yang Allah tunjukkan!" | #hening -_-a
Dear all,
istikharah bukan shalat magic, yang seolah jadi shortcut untuk jawaban,
apalagi istikharah dalam perkara maksiat, hehe..
Istikharah
memang boleh ketika kita sedang dalam keadaan yang tak cenderung kemanapun,
namun harus dipastikan itu hal yang bukan maksiat. Idealnya, istikharah itu
untuk mantapkan hati, meminta keridhaan Allah dalam bentuk kemantapan hati,
artinya dia sudah memilih. Maka pertanyaannya, bila istikharah bukan untuk
memilih pilihan berganda, lalu bagaimana cara memilih seorang Muslim yang
bingung?
Islam telah
gariskan 5 hukum dalam amal:
1) wajib
2) sunnah
3) mubah
4) makruh
5) haram |
semakin keatas semakin baik
Jadi bila
diantara 2 pilihan wajib dan sunnah, ya pilih wajib. Ada pilihan antara sunnah
dan makruh, ya pilih sunnah. Bagaimana jika ada 2 pilihan yang sama wajibnya? Ya pilih yang lebih urgen. Shalat wajib sama penuhi panggilan orang tua? Ya shalat
dulu.
Bagaimana jika
ada 2 pilihan yang sama bolehnya? Ya tinggal hitung-hitung manfaatnya yang mana
yang lebih gede :)
Ada 2 calon,
sama kayanya, sama bangsawannya, sama salihnya, tapi satunya ganteng, ya pilih
yang ganteng, hehe..
Bagaimana 2
pilihan sama-sama haramnya? Ya jangan milih, selama belum darurat (kalau nggak
milih mati), cari pilihan halal yang lain :)
Nah, jelas
ya, jadi pilih dulu, yang mana yang paling cenderung, lalu ber-istikharahlah,
minta kemantapan hati.
Ok, konkritnya, yang sering ditanyakan dalam istikharah kan dalam hal memilih pasangan, ya? Paling penting, nggak perlu istikharah bila belum siap nikah, karena itu berarti niatnya belum serius, pantaskan niat dahulu.
Ok, konkritnya, yang sering ditanyakan dalam istikharah kan dalam hal memilih pasangan, ya? Paling penting, nggak perlu istikharah bila belum siap nikah, karena itu berarti niatnya belum serius, pantaskan niat dahulu.
Bila sudah
siap nikah, lalu niat ta'aruf, maka lihatlah apa yang calon pasangan Anda
miliki, imannya, sikapnya, dan sebagainya. Pilihlah yang menjadi kriteria Anda
dalam memilih pasangan. Rasul titik-beratkan agamanya, yaitu keimanan dan
pengetahuan Islamnya. Karena yang paham agama pastilah tanggung jawab, dewasa,
pengertian, tahu tempatkan diri, sabar, dan setumpuk kebaikan lainnya. Bila penuhi
kriteria, ya terima lalu istikharah, bila tidak ya tinggal tolak aja, nggak
perlu istikharah lagi. Pemabuk, ajak maksiat pacaran, nggak bisa urus diri,
gaya hidup bak anak konglomerat, childish, tolak aja, nggak usah istikharah.
Jadi sekali
lagi, istikharah itu untuk mantapkan diri, minta Allah bimbing dalam pilihan
kita yang sudah berdasar syariat-Nya. Minta Allah hilangkan kejelekan dari
pilihan kita, minta Allah sabarkan kita bila ada hambatan dalam pilihan kita.
Makanya Rasul
ajarkan doa "takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan
jadikanlah aku ridha dengannya (pilihan kita)".
Dan istikharah
nggak selalu dijawab dengan mimpi, karena nggak ada hubungannya istikharah
dengan mimpi. Belum tentu pula setelah istikharah lantas ada hambatan, itu
berarti Allah nggak ridha. Selama kita tahu pilihan kita berdasar syariat
Allah, maka hambatan bisa jadi penambah pahala dan pengurang dosa. Karena itulah
kita minta kemantapan diri dengan istikharah setelah kita memutuskan berdasar
syariat Allah, agar Allah kuatkan.
Jadi, apapun
urusan kebaikan yang ingin kita lakukan, ber-istikharahlah, hadirkan Allah
untuk mantapkan hati.
Lantas, bagaimana
mau ketahui yang ini baik atau buruk? Nah, ini nggak bisa kalo nggak ikut
kajian Islam! hehe.. :)
Subscribe to:
Posts (Atom)